Kamis, 19 April 2012

Obat, Yes! Racun, No!


“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram.” -HR Abu Dawud-

Diantara petunjuk yang diajarkan oleh Nabi ﷺ adalah bahwa beliau biasa melakukan pengobatan untuk diri sendiri dan juga memerintahkan orang lain yang terkena penyakit, baik itu keluarga atau para sahabat beliau untuk melakukan pengobatan sendiri. Namun, beliau dan para sahabatnya tidak memiliki kebiasaan menggunakan obat-obatan kimia. Kebanyakan obat-obatan yang mereka gunakan adalah makanan sehat nonkimiawi. Terkadang makanan sehat itu mereka campurkan dengan zat lain sebagai pengemulsi atau sekedar untuk menghilangkan bentuk asalnya saja.
Obat-obatan berupa makanan sehat adalah jenis obat yang biasa digunakan oleh berbagai etnis di berbagai negara, baik yaitu bangsa Arab, Turki, atau kalangan kaum badui dan yang lainnya secara keseluruhan. Hanya bangsa Romawi dan Yunani yang gemar menggunakan obat-obatan kimia. Sementara orang-orang India (Aryuveda) juga lebih banyak menggunakan obat-obatan berupa makanan sehat.
Selain itu Nabi ﷺ juga melarang penggunaan barang-barang yang haram, kotor dan najis untuk dipergunakan sebagai obat. Pelarangan inilah yang membedakan pengobatan Islam dengan banyak pengobatan lainnya. Pengobatan lain selain pengobatan Islam seperti pengobatan Cina, Romawi, Mesir, dan India lazim menggunakan barang haram seperti khamr, babi, ular, katak, darah, air seni manusia, atau bahkan zat-zat beracun sebagai obat.
Imam Al-Bukhari menyebutkan dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada sesuatu yang diharamkan atas kalian.”
Sebab diucapkannya hadits di atas oleh Ibnu Mas’ud adalah karena seseorang yang bernama Khutsaim Ibnu al-’Adaa’, mengeluhkan menderita sakit kuning, lalu disodorkan minuman memabukkan kepadanya yaitu khamr. Kemudian diutuslah seseorang menemui Ibnu Mas’ud untuk bertanya kepadanya terkait masalah tersebut, maka Ibnu Mas’ud menjawab dengan hadits di atas.
Ibnu Qoyyim menandaskan, bahwa sesungguhnya Allah hanya mengharamkan sesuatu kepada umat Islam tidak lain karena kejelekannya. Maka, tidak semestinya kalau sesuatu yang haram itu digunakan untuk mengobati penyakit dan sejenisnya. Meskipun barang haram itu berkhasiat menghilangkan penyakit, namun pasti akan menimbulkan penyakit yang lebih parah lagi di dalam hatinya karena kekuatan jahat yang dikandung barang haram tersebut. Artinya pasien telah berusaha menghilangkan penyakit fisik dengan resiko penyakit hati.
Ibnu Qoyyim kemudian menambahkan bahwa perkataan para dokter yang menyatakan bahwa penyakit tersebut tak bisa disembuhkan kecuali dengan obat-obatan yang haram tadi, maka ini adalah perkataan orang yang tidak tahu, dan hal tersebut tidak akan diucapkan oleh orang yang benar-benar tahu tentang ilmu kedokteran, apalagi orang yang mengenal Allah dan Rasulnya ﷺ, karena kesembuhan tidak memiliki sesuatu sebab tertentu yang pasti, tidak seperti rasa kenyang yang memiliki sebab tertentu yang pasti. 
Terkadang obat dipakai, tapi tidak membawa kesembuhan, karena ada syarat yang tak terpenuhi atau adanya penghalang. Tidak seperti makan yang merupakan sebab rasa kenyang. Karenanya Allah membolehkan memakan barang haram ketika mengalami kelaparan, sementara ia tidak menemukan lagi makanan untuk bertahan hidup kecuali memakan barang yang haram. Hal seperti ini diperbolehkan, dengan syarat tidak berlebihan atau makan secukupnya saja, yaitu sekedar bertahan hidup dan bukan dimakan untuk tujuan pengobatan.
Pengobatan dengan benda haram adalah hal yang buruk, baik ditinjau dari segi akal maupun syari’at. Adapun dari segi syari’at maka keburukannya dilandaskan dari hadits-hadits yang ada. Adapun dari segi akal bahwasannya Allah telah mengharamkannya. Sebab benda haram itu kotor. Sesungguhnya Allah tidak mengharamkan  sesuatu yang baik sebagai hukuman terhadap umat Islam, sebagaimana mengharamkannya kepada bani Israil dalam Firman-Nya, “Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi Kami haramkan atas mereka memakan makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka.” (An-Nisaa’: 160).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya oleh seseorang, bagaimana jika ada seseorang yang berobat ke rumah sakit, kemudian para dokter mengatakan kepada pasien, tidak ada lagi obat yang dapat menyembuhkan penyakit si pasien, kemudian para dokter tadi menganjurkan kepada pasien untuk mengkomsumi daging anjing atau babi, atau berobat menggunakan khamr dan minuman yang memabukkan yang terbuat dari Nabiz (jus anggur), kurma dan selainnya yang dibiarkan sampai mengalami fermentasi atau memabukan?
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ibnu Taimiyyah menjawab bahwa tidak boleh berobat dengan khamr dan barang haram lainnya, karena ada dalil-dalil yang melarang hal tersebut. Ibnu Taimiyah melontarkan setidaknya ada lima dalil yang melarang penggunaan barang haram dan salah satunya adalah hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ melarang berobat dengan barang haram.” Dan dalam sebuah riwayat, “Maksudnya adalah racun.”
Muhammad bin Shalih Al-Khuzaim mengungkapkan bahwa racun dalam bahasa arabnya adalah “sum,” yang berarti sesuatu materi yang mematikan. Segala sesuatu yang mematikan bila dimakan atau diminum disebut racun. Orang yang tersengat disebut juga keracunan, yakni racun yang berasal dari kalajengking dan sejenisnya, yang menyengat tubuhnya.
Sifat makanan terbagi menjadi empat, yaitu panas atau dingin dan lembab atau kering derajat satu, derajat dua, derajat tiga, dan derajat keempat. Racun dan sebagian besar obat kimia adalah makanan berderajat metabolisme tingkat empat. Penggunaannnya dapat meningkatkan atau bahkan menurunkan sistem tubuh hingga di luar jangkauan sampai dengan efek mematikan. Beberapa herbal membahayakan seperti tanaman penghasil opium, belladonna (obat penenang), dan akar syubrum juga termasuk ke dalam kategori ini. Oleh karenanya Nabi ﷺ melarang penggunaannya sebagai obat.
Makanan hingga derajat kedua adalah yang termasuk semua nutrisi (bahan gizi), seperti jahe, kurma, kenari, dan wijen. Sementara, makanan derajat metabolisme tingkat ketiga adalah bahan obat dan memiliki dosis dan masa pakai tertentu seperti Habbatussauda dan sena. Ketiga jenis derajat makanan inilah yang dipergunakan oleh Nabi ﷺ untuk pengobatan.
Selain itu, formula pengobatan penyakit jasmani ada tiga, yaitu menjaga kesehatan, menjaga tubuh dari unsur-unsur berbahaya dan mengeluarkan zat-zat berbahaya dari dalam tubuh. Oleh karenanya Nabi ﷺ memerintahkan setiap pengobatan penyakit dengan antinya atau penangkalnya, bukan menangkal penyakit dengan racun. Wallahu A’lam.

TB l Berbagai Sumber
Disari dari: Tabloid Bekam Edisi 12 (Liver Disakiti, Kurma Beraksi)
Sumber: tabloidbekam.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar