ROHIS SMAN 111

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

Jumat, 27 April 2012

Belajar Dari Panglima Khalid

Google Image
Khalid bin Walid adalah seorang sahabat nabi yang merupakan salah satu panglima perang Islam terbesar sepanjang sejarah. Sebelum beliau masuk Islam, beliaulah yang menghancurkan pasukan Muslim di Perang Uhud. Ya, Perang Uhud. Satu-satunya perang sepanjang hidup nabi yang berakhir dengan kehancuran kaum Muslimin. Padahal ketika perang tersebut berlangsung, sebenarnya kemenangan sangatlah sudah dekat berada di genggaman kaum muslimin. Ibarat seorang koki, tinggal menunggu finishing touch-nya saja.
Pasukan kafir Quraisy yang porak-porakkan dan kocar-kacir oleh pasukan kaum Muslimin pun terpukul mundur dan menyisakan begitu berlimpah ruahnya harta rampasan perang di area di bawah Bukit Uhud. Pasukan pemanah yang berjaga-jaga di Bukit Uhud pun melanggar sabda nabi dengan turun dari bukit dan berebut ghanimah. Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya ghanimah itu hanyalah umpan. Pasukan Khalid bin Walid yang sedari tadi mengintai pasukan pemanah berkata dalam hati bahwa mangsa sudah masuk dalam perangkap. Dengan kecerdikannya, Khalid bin Walid mengomandoi pasukannya untuk mengambil rute memutari Bukit Uhud, dan pasukan pemanah yang sudah terlena dengan harta dihancurkan sehancur-hancurnya oleh Pasukan Khalid bin Walid.
Pasukan Khalid bin Walid pun meneriakkan yel-yel bahwa Muhammad sudah mati. Hal ini membuat mental kaum muslimin pun jatuh dan akhirnya kalah dengan telak. Nabi sendiri dalam perang ini mengalami luka yang cukup serius. Beberapa gigi nabi tanggal karena dipanah oleh pasukan musuh.
Dari konstruksi cerita Perang Uhud di atas yang akan kita lihat bersama adalah begitu sentralnya peran Khalid bin Walid dalam peperangan ini. Bukan sembarang Allah memilih seorang Khalid bin Walid sebagai panglima perang yang mengalahkan pasukan muslimin. Khalid bin Walid pun akhirnya masuk Islam dan menjadi kekuatan tersendiri bagi pasukan Islam. Atas kecerdikannya itu tak salah para khalifah setelah nabi mengangkatnya sebagai panglima perang.
Salah satunya adalah khalifah Umar bin Khattab. Khalid bin Walid pun tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan khalifah. Bahkan Khalid bin Walid mencatat rekor bahwa setiap perang yang dipimpinnya pasti berakhir dengan kemenangan bagi pasukan Islam, sehingga hal ini membuat pasukan secara khusus dan umat Islam secara umum menaruh respek tersendiri kepada Khalid bin Walid.
Mendengar hal ini Umar bin Khattab tidak tinggal diam saja. Dia mengambil tindakan memecat Khalid bin Walid sebagai panglima perang dengan alasan yang agak kurang masuk akal, yaitu karena setiap perang yang dipimpinnya selalu berakhir kemenangan. Hal itu ditakutkan oleh Umar akan menimbulkan kesyirikan dan peng-kultus-an sosok Khalid bin Walid yang terlalu berlebihan. Alasan Umar bukan karena takut tersaingi dengan Khalid, tetapi benar-benar menginginkan kemaslahatan yang terbaik untuk umat. Umar pun mengganti posisi Khalid bin Walid dengan menunjuk seorang pemuda yang jam terbangnya masih jauh kalah dibanding Khalid. Khalid pun ditempatkan Umar sebagai anak buah dari pasukan yang dipimpin oleh pemuda tadi dan Khalid dapat memahami semuanya dan tetap berperang dengan maksimal.
Yang menarik adalah kata-kata fenomenal dari Khalid bin Walid ketika dipecat oleh Umar. Khalid berkata, “Saya berjihad bukan karena Umar, tapi saya berjihad karena Allah”.
Khalid bin Walid adalah seorang sahabat Nabi yang begitu merindukan kematian syahid ketika di medan perang, tetapi Allah belum mengabulkannya. Seorang panglima besar dengan begitu banyak bekas luka sabetan pedang dan hujaman tombak ini pun akhirnya wafat di tempat tidur.
Ibrah yang dapat sama-sama kita ambil dari sirah di atas adalah mau jadi apapun kita, entah apapun itu yang mengharuskan kita menjadi seorang jundi/anak buah dari seorang pemimpin, ingatlah satu hal, kerja yang kita lakukan bukanlah untuk pemimpin itu. Selalu tanamkan dalam hati bahwa setiap kerja kita semata-mata diniatkan untuk Allah, sehingga dapat menghindarkan diri dari kekecewaan atas segala bentuk rupa apapun dari pemimpin kita.
Oleh: Andri Nugraha, Palembang
FacebookTwitterBlog

Sumber: fimadani.com

Freemason dalam Sejarah Indonesia



REPUBLIKA.CO.ID, Meski ratusan tahun beroperasi di Nusantara, keberadaan Freemason (Belan da:Vrijmetselaarij), nyaris tak tertulis dalam buku-buku sejarah. Padahal, banyak literatur yang cukup memadai untuk dijadikan rujukan penulisan sejarah tentang Freemason di wilayah jajahan yang dulu bernama Hindia Belanda ini.

Diantaranya adalah: Vrijmet se laarij: Geschiedenis, Maats chapelijke Beteekenis en Doel (Freema son: Sejarah, Arti untuk Masyarakat dan Tujuannya) yang ditulis oleh Dr Dirk de Visser Smith pada tahun 1931, Geschiedenis der Vrymet selary in de Oostelijke en Zuidelijke Deelen (Sejarah Freemason di Timur dan Selatan Bumi) yang ditulis oleh J Hagemen JCz pada tahun 1886, Geschiedenis van de Orde der Vrijmetselaren In Nederland Onder hoorige Kolonien en Londen (Sejarah Orde Freemason di Nederland di Bawah Kolonialisme) yang ditulis oleh H. Maarschalk pada tahun 1872, dan Gedenkboek van de Vrijmet selaaren In Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917), yang diterbitkan secara resmi pada tahun 1917 oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidele (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya).

Di samping literatur yang sudah berusia ratusan tahun tersebut, pada tahun 1994, sebuah buku berjudul Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesie 1764- 1962 (Freemason dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764- 1962) ditulis oleh Dr Th Stevens, seorang peneliti yang juga anggota Freemason. Berbeda dengan bukubuku tentang Freemason di Hindia Belanda sebelumnya, buku karangan Dr Th Stevens ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2004. Buku-buku yang mengungkap tentang sejarah keberadaan jaringan Freemason di Indonesia sejak masa penjajahan tersebut, sampai saat ini masih bisa dijumpai di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Bahkan, Indisch Macconiek Tijdschrift (Majalah Freemason Hindia), sebuah majalah resmi milik Freemason Hindia Belanda yang terbit di Sema rang pada 1895 sampai awal tahun 1940-an, juga masih tersimpan rapi di perpustakaan nasional. Selain karya Stevens dan H Maarschalk yang diterbitkan di negeri Belanda, buku-buku lainnya seperti tersebut di atas, diterbitkan di Semarang dan Surabaya, dua wilayah yang pada masa lalu menjadi basis gerakan Freemason di Hindia Belanda, selain Batavia.

Keberadaan jaringan Freemason di Indonesia seperti ditulis dalam buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 adalah 150 tahun atau 199 tahun, dihitung sejak masuknya pertama kali jaringan Freemason di Batavia pada tahun 1762 sampai dibubarkan pemerintah Soekarno pada tahun 1961. Selama kurun tersebut Freemason telah memberikan pengaruh yang kuat di negeri ini.

Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 misalnya, memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi foto, dan aktivitas loge-loge yang berada langsung di bawah penga was an Freemason di Belanda. Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim Komite Sejarah Freemason ini adalah bukti tak terbantahkan tentang keberadaan jaringan mereka di seluruh Nusantara.

Keterlibatan elite-elite pribumi, di antaranya para tokoh Boedi Oetomo dan elite keraton di Kadipaten Paku Alaman, Yogyakarta, terekam dalam buku kenang-kenangan ini. Radjiman Wediodiningrat, orang yang pernah menjabat sebagai pimpinan Boedi Oetomo, adalah satu-satunya tokoh pribumi yang artikelnya dimuat dalam buku kenang-kenangan yang menjadi pegangan anggota Freemason di seluruh Hindia Belanda ini. Radjiman yang masuk sebagai anggota Free mason pada tahun 1913, menulis sebuah artikel berjudul Een Bro derketen der Volken (Persaudaraan Rakyat).

Radjiman pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain Radjiman, tokoh-tokoh Boedi Oetomo lainnya yang tercatat sebagai anggota Freemason bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh CG van Wering. Kedekatan Boedi Oetomo pada masa-masa awal dengan gerakan Freemason bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut.

Adalah Dirk van Hinloopen Labber ton, pada 16 Januari 1909 mengadakan pidato umum (openbare) di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bin tang Timur) Batavia. Dalam pertemuan di loge tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul, Theo so fische in Verband met Boedi Oetomo (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).Theosofi adalah bagian dari jaringan Freemason yang bergerak dalam kebatinan. Aktivis Theosofi pada masa lalu, juga adalah aktivis Freemason. Cita-cita Theosofi sejalan dengan Freemason.

Apa misi Freemason? Dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, karya Dr Th Steven dijelaskan misi organisasi yang memiliki simbol Bintang David ini: Setiap insan Mason Bebas mengemban tugas, di mana pun dia berada dan bekerja,untuk memajukan segala sesuatu yang mempersatukan dan menghapus pemisah antarmanusia.

Jadi, misi Freemason adalah menghapus pemisah antar manusia! Salah satu yang dianggap sebagai pemisah antarmanusia adalah agama. Maka, jangan heran, jika banyak manusia berteriak lantang: semua agama adalah sama. Atau, semua agama adalah benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu. Paham yang dikembangkan Freema son adalah humanisme sekular. Semboyannya: liberty, egality, fraternity.

Sejak awal abad ke-18, Freemasonry telah merambah ke berbagai dunia. Di AS, misalnya, sejak didirikan pada 1733, Freemason segera menyebar luas ke negara itu, sehingga orang-orang seperti George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin menjadi anggotanya. Prinsip Freemasonry adalah Liberty, Equality, and Fraternity. (Lihat, A New Encyclopedia of Freemasonry, (New York: Wing Books, 1996).

Harun Yahya, dalam bukunya, Ksatria-kstaria Templar Cikal Bakal Gerakan Free Masonry (Terj), mengungkap upaya kaum Freemason di Turki Usmani untuk menggusur Islam dengan paham humanisme. Dalam suratnya kepada seorang petinggi Turki Usmani, Mustafa Rasid Pasya, August Comte menulis, Sekali Usmaniyah mengganti keimanan mereka terhadap Tuhan dengan humanisme, maka tujuan di atas akan cepat dapat tercapai. Comte yang dikenal sebagai penggagas aliran positivisme juga mendesak agar Islam diganti dengan positivisme. Jadi, memang erat kaitannya antara pengembangan liberalisasi, sekularisasi, dan misi Freemason.

Ditulis oleh Artawijaya, Peminat Sejarah
Dimuat Harian Republika pada Kamis, 15 Juli 2010 

Jangan Korbankan Wanita!


Bro en Sis pembaca setia gaulislam, ketika akan menulis edisi ini, saya jadi inget tulisan saya waktu jadi editor di Buletin STUDIA 12 tahun silam—tahun 2000 (ini juga buletin remaja yang saya kelola bersama kawan-kawan sebelum saya dan kawan-kawan lainnya mengelola gaulislam di tahun 2007). Ya, rasa-rasanya cocok kalo ditulis ulang (tentu dengan beberapa update informasi) untuk merespon gonjang-ganjing pembahasan RUU KKG (Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender) di DPR yang diprotes banyak kaum muslimin. Wah, gaulislam ngebahas yang serius nih? Iyalah. Kan kalo ngebahas soal musik udah, ngebahas soal boyband SuJu (Super Junior) yang berisikan cowok-cowok keren asal Korea yang bikin histeris para ELF (sebutan untuk para penggemar Super Junior) karena akan manggung selama tiga hari di Indonesia akhir April 2012 ini, gaulislam udah bahas secara umum tentang musik di edisi 231 dan edisi 233. Silakan dibaca lagi ya. Insya Allah mewakili.
Nah, sekarang gaulislam bakalan ikut peduli soal harkat dan martabat kaum perempuan. Ciee.. bukan karena setuju feminisme lho, tapi karena Islam memang mengajarkan kita memuliakan wanita. Tetapi sepertinya saat ini, fakta menunjukkan bahwa wanita diciptakan untuk menyenangkan laki-laki semata. Di tempat-tempat hiburan, perempuan telah menjadi barang dagangan yang bisa menggairahkan bagi laki-laki. Tak ada tempat hiburan yang ‘menjual’ laki-laki, kan? Malah Demosthenes (orator hebat di masa Yunani Kuno) pernah berkata, “Kita perlukan gundik untuk memuaskan kesenangan kita, dan istri untuk melahirkan keturunan kita.” Halah!
Sejauh ini fakta telah menempatkan wanita pada posisi yang membuatnya terpuruk. Di jaman dulu, wanita ditempatkan pada posisi yang rendah. Boleh dikatakan, tak layak hidup. Seperti apa yang pernah dilakukan oleh para ayah di masa jahiliyah yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Masa itu terus berlanjut seiiring dengan makin berkembangnya ilmu dan teknologi, yang membuat penindasan itu bervariasi dalam model-model yang tak kalah sadis.
Coba deh, anak cewek pasti hapal bener dengan berbagai kasus pelecehan seksual, misalkan. Sampai sekarang pelecehab seksual masih hangat untuk dibicarakan, namun terus terang aja, tak ada penyelesaian yang benar dan baik. Wanita seolah tetap terpuruk dalam dunianya yang serba terbatas. Setelah itu, semua masalah ditumpahkan dan wanita jadi penyebab semua itu. Anak cewek menerima? Tentu saja sewot. Meski tanpa disadari mereka sendiri yang sebenarnya menciptakan kondisi itu dengan menyukai aturan yang berlaku di masyarakat sekarang ini. Ibaratnya, ia merasa jijik kalau harus masuk WC, namun karena butuh dan terbiasa, akhirnya dinikmati juga. Bener nggak, Non?

Feminisme; racun atau madu?
Sekarang ini kaum wanita makin sering bicara soal martabat dan persamaan derajat dengan laki-laki (termasuk dalam RUU KKG). Ide-ide feminisme pun berkembang dengan lancar dan tampak mendapat sambutan yang antusias dari—tentu—kalangan wanita juga laki-laki yang setuju ide feminisme. Mereka berpikir bahwa sudah saatnya untuk menyamakan peran dengan laki-laki. Meski akhirnya tanpa disadari narus mengorbankan harga dirinya. Memang, tak semua tuntutan persamaan itu salah, Non. Sebab, dalam beberapa hal boleh-boleh saja, seperti dalam masalah pendidikan, anak cewek boleh bersaing dengan laki-laki.
Sayangnya, emansipasi yang digembar-gemborkannya untuk mengangkat dan membebaskan wanita dari perbudakan malah menjerumuskannya pada perbudakan baru. Pada masyarakat kapitalis seperti sekarang ini, wanita telah menjadi komoditas alias barang yang diperjual-belikan. Mereka dijadikan sumber tenaga kerja yang murah atau dieksploitasi untuk menjual barang. Barang jenis industri mutakhir seperti mode, kosmetik dan hiburan, hampir sepenuhnya memanfaatkan ‘jasa’ wanita. Pendidikan dan media-massa menampilkan citra wanita yang penuh glamour—sensual dan fisikal. Penuh sensasi, dan tentu nggak ketinggalan, bodi! Wuih, kasihan amat.
Pada masyarakat bebas kayak begini, wanita dididik untuk melepaskan segala ikatan normatif, kecuali kepentingan industri. Tubuh mereka dipertunjukkan untuk menarik selera konsumen. Coba bayangin, betapa konyolnya, iklan mobil mewah rasanya belum lengkap kalau tak hadir di sampingnya gadis berbodi aduhai. Permen rasanya belum manis kalau tak menyertakan penampilan gadis dengan bibir sensual mengunyah permen.
Akibat lanjutnya, pelecehan seksual manjadi trend tersendiri. Digandrungi sekaligus dikecam. Saling tunjuk hidung antara kaum cowok dan kaum cewek sudah biasa. Sama-sama tak mau disalahkan. Kaum pria protes ketika dituduh sebagai biang kerok pelecehan seksual. Tak cukup sampai di situ, ternyata kaum wanita juga menuduh para cowok karena tak mampu menahan nafsu. Tak ada yang mau kalah dan disalahkan. Jadi gimana dong? “Tuduhlah aku sepuas hatimu…” *jadi ngedangdut gini nih! Halah!
Namun, disadari atau tidak, wanita telah menjerumuskan dirinya ke dalam kubangan yang penuh lumpur, ditambah dengan kondisi lingkungan masyarakat saat ini yang tak ramah bagi seorang wanita. Gimana nggak ramah, setiap hari kondisi masyarakat sepertinya memberikan justifikasi alias pembenaran terhadap apa yang dilakukan kaum Hawa saat ini. Kondisi masyarakat bahkan menuntut kaum wanita untuk berbuat seperti itu. Tentu sangat berbahaya menciptakan kondisi yang tak sehat buat kaum wanita. Walhasil, emansipasi ternyata memberikan racun ganas yang mematikan. Kasihan, ya?
Sobat muda muslim pembaca setia gaulislam, kalo kita melihat draft RUU KKG, rasa-rasanya pantas bagi kita yang mukmin mengkritisinya. Definisi gender dari naskah RUU KKG di DPR RI yang beredar: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal 1:1)
Menurut Dr Adian Husaini, peneliti INSISTS, dalam Catatan Akhir Pekan-nya yang ke-333, 8 April 2012 lalu menuliskan: “Sepintas, definisi semacam itu seolah-olah tampak biasa-biasa saja. Padahal, jika dilihat dalam perspektif ajaran Islam, konsep gender dalam draft RUU tersebut jelas-jelas keliru.  Sebab, pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam Islam bukanlah merupakan hasil budaya, tetapi merupakan konsep wahyu. Ketika Rasulullah saw. melarang seorang istri untuk keluar rumah karena dilarang suaminya – meskipun untuk berziarah pada ayahnya yang meninggal dunia – larangan Nabi itu bukanlah budaya Arab. Tetapi, itu merupakan ajaran Islam yang berdasarkan kepada wahyu Allah.”
Kemudian Dr Adian Husaini menuliskan kembali dalam catatannya: “Sebagai contoh, perempuan ulama fiqih terbesar, yakni Siti Aisyah r.a., tidak berbeda pendapatnya dengan pendapat para sahabat laki-laki dalam berbagai masalah hukum yang kini digugat kaum feminis. Belum lama ini telah terbit sebuah buku karya Sa’id Fayiz al-Dukhayyil, Mawsu’ah Fiqh ‘Aisyah Umm al-Mu’minin, Hayatiha wa Fiqhiha, (Dar al-Nafes, Beirut, 1993), yang menghimpun pendapat-pendapat Siti Aisyah r.a. tentang masalah fiqih. Hingga kini, ribuan ulama dan cendekiawan Muslimah tetap masih aktif menentang ide-ide ekstrim dari para feminis dan aktivis KKG yang terinspirasi atau terhegemoni oleh pandangan hidup sekular-liberal atau Marxisme.”

Sosok wanita ideal dalam Islam
Rasulullah saw. membuat empat buah garis seraya berkata: “Tahukan kalian apakah ini?’ Mereka berkata: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Nabi saw.. lalu bersabda: “Sesungguhnya wanita ahli surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad saw.,  Maryam binti ‘Imron, dan Asiyah binti Mazahi.’ (Mustadrak Al-Shahihain 2:497)
Kamu tahu Khadijah? Dialah istri nabi yang pertama dan wanita pertama yang beriman atas kenabian Muhammad saw. Dia pula yang pertama mendapat gelar ummul mukminiin.
Lahir dari kalangan keluarga yang mulia, jujur dan pemimpin. Dibesarkan di kalangan keluarga mulia, terdidik dengan akhlak yang terpuji, bersifat teguh dan cerdik, sehingga kaumnya memanggil thohiroh karena sangat perhatian terhadap akhlak dan kesopanan yang mulia.
Wanita cerdas dan bisniswati yang sukses dalam menjalankan roda-roda usahanya dan sanggup membiayai hampir seluruh dakwah Rasulullah saw. Beliaulah teladan “Khadijah-Khadijah kontemporer abad ini—yang tengah menggapai angan-angan kosong emansipasi yang telah membuatnya meninggalkan segalanya.
Beliaulah satu-satunya ‘usahawati’ yang terkemuka di jamannya. ‘Kerajaan’ bisnisnya meliputi jazirah Arab. Namun tetap rendah hati dan berakhlak mulia, tetap menjaga kesuciannya dan tetap menjadi ibu bagi anak-anaknya—plus menghormati Rasulullah sebagai suami tercintanya meski usia suaminya lebih muda 15 tahun darinya. Namun Khadijah tetap patuh dan taat. Tidak seperti wanita-wanita kantemporer yang egonya tinggi dan cenderung lepas kendali bila sudah berada di papan atas. Bahkan tak segan untuk menjalin ikatan lahir bathin dengan mitra bisnisnya yang laki-laki. Atau malah kedudukannya dipakai untuk mendikte dengan melakukan pelecehan seksual terhadap anak buahnya. Seperti apa yang digambarkan dalam film Disclosure-nya Demi Moore yang meneror bawahannya yang diperankan Michael Douglas (film tahun 1994). ltu di film, tapi tak mustahil hal itu terjadi dalam dunia nyata. Gimana, Non, mungkin kan?
Tahu tentang sosok Asma binti Yazid? Beliau adalah seorang orator, singa podium dari kalangan wanita. Dia bukanlah Megawati atawa aktivis liberal macam Musdah Mulia, dan amat sangat jauh levelnya kalo (boleh) dibandingkan dengan Ayu Ting-Ting atau Trio Macan.
Prestasi dan prestisenya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Bener, nggak bohong. Pun pengabdiannya pada Islam telah membuat dirinya disegani. Selain sebagai singa podium, ia juga adalah pejuang yang tabah, wanita terhormat, tergolong ahli pikir dan ahli agama. Bahkan beliau ini dipercaya untuk menjadi delegasi wanita dalam menyampaikan segala uneg-uneg atau permasalahan yang berhubungan dengan para wanita kepada Rasulullah saw. dalam majelis syuro.
Suatu ketika, saat pertemuan Asma melontarkan pertanyaan yang membebani kaum wanita. “Ya Rasulullah. Aku rnewakili kaum wanita untuk menanyakan kepadamu tentang beberapa hal. Bukankah engkau diutus oleh Allah untuk rahmat bagi manusialaki-laki dan wanita? Namun dalam beberapa masalah ternyata kami merasa dibedakan dengan laki-laki. Kami sama-sama beriman dan bertakwa, narnun kami juga merasa iri dengan perbuatan kaurn laki-laki yang seolah menempatkan mereka pada posisi yang baik untuk mendapatkan pahala yang besar. Mereka boleh berjihad, semantara kami hanya mengurus anak-anak dan menjahit pakaian mereka. Mereka diberi kesempatan untuk mendapatkan pahala sholat jumat, sementara kaum wanita tak boleh. Bagaimana ini ya Rasulullah?”
Mendengar ‘protes’ demikian Rasulullah saw. kaget, meski protesnya tentu saja tak disertai gelar poster dan demo mogok makan. Ternyata, Non, yang diproteskan para muslimah itu bukan keinginan mendapatkan berlian seberat 2 kilogram, atau persamaan hak untuk mendapatkan jabatan eksekutif dari jenjang karir papan atas. Yang mereka tanyakan justru persamaan dalam memperoleh pahala dan menjalankan syariat. Hebat, bener!
Kemudian yang mulai Rasulullah saw. dengan bangga bertanya kepada peserta pertemuan yang lain: “Pernahkan kalian mendengar pertanyaan yang lebih baik selain soal-soal agama seperti wanita ini?. Ya Rasulullah, kami tidak menyangka dan berpikir wanita itu akan bertanya sedemikian jauh,”  jawab hadirin kompak dan spontan.
“Wahai Asma’ kau pahami dan sampaikan nanti pada kaummu. Kebaktianmu pada suami dan usaha mencari kerelaannya telah meliputi dan menyamai semua yang dilakukan suami kalian (kaurn pria),”  jawab Rasulullah singkat, namun padat dan bermakna tinggi.
Jawaban tersebut karuan saja menggembirakan hati Asma dan segera ia pulang dan menyampaikan berita itu kepada para wanita. Dan mereka pun menerima dengan senang hati. Tidak banyak bantahan dan tuntutan seperti halnya srikandi-srikandi kontemporer yang ingin berperan ganda, sampai-sampai melalaikan yang wajib dan mengejar yang mubah bahkan makruh dan haram sekalipun. Bisa berabe, Non!
Dua tokoh inilah, yang setidaknya bisa dijadikan sosok ideal wanita muslimah. Kamu juga bisa Non, asal mau mengubah diri. Bener, semua orang juga bisa. Masa’ untuk maksiat aja bisa, kenapa untuk keridhoan Allah nggak mampu? Ayo, kamu bisa!

Islam memuliakan wanita
Suatu ketika seorang muslimah di kota Amuria–terletak antara wilayah Irak dan Syam–berteriak minta tolong karena kehormatannya dinodai oleh seorang pembesar Romawi. Teriakan ini ternyata terdengar oleh Khalifah Mu’tashim, pemimpin umat Islam saat itu. Kontan saja ia mengerahkan tentaranya untuk membalas pelecehan itu. Bukan saja sang pejabat, tapi kerajaan Romawi langsung  digempur. Sedemikian besarnya tentara kaum muslimin hingga diriwayatkan ‘kepala’ pasukan berada di Amuriah sedangkan ‘ekornya’ berakhir di Baghdad—bahkan masih banyak tentara yang ingin berperang. Fantastic!
Untuk membayar penghinaan tersebut 30.000 tentara musuh tewas dan 30.000 lainnya menjadi pesakitan. Itu wujud perhatian Khalifah (pemimpin negara Islam kepada rakyatnya). Hebat ya perhatian Islam sama rakyatnya. Nggak seperti sekarang, malah mau mengorbankan wanita ke lembah nista melalui RUU KKG. Gawat bin bahaya, pemimpin seperti itu mah.
Dalam Islam, kehormatan manusia baik laki-laki maupun wanita, dijunjung demikian tinggi. Haram hukumnya melanggar kehormatan orang lain. Termasuk tindak pelecehan seksual. Jangankan mencolek, atau bahkan memperkosa, melirik wanita yang bukan mahrom dengan syahwat pun haram hukumnya. Rasulullah pernah memalingkan muka Fudhail karena memandang wanita—yang saat itu menghadap Rasulullah—dengan syahwat.
Namun amat disayangkan, bahwa wanita-wanita sekarang ini cenderung membiarkan dirinya hanyut dalam gelombang emansipasi yang amburadul. Hampir semua bagian ingin direngkuh demi persaingan harga diri dengan laki-laki. Tak peduli meski akhimya harus mengorbankan harga diri. Kamu, jangan begitu, ya Non!
Banyak wanita yang bekerja di sektor industri dengan tidak memperhatikan apakah jenis pekerjaannya sesuai atau tidak dengan kodratnya sebagai wanita. Apakah jenis pekerjaannya itu membahayakan dirinya atau tidak, menjaga kesuciannya atau tidak, mereka sudah tak peduli. Misalkan kerja di pabrik mengoperasikan mesin giling atau bekerja dipengeboran minyak. Sama celakanya menceburkan diri dengan bekerja di bar atau hotel yang bakal merendahkan martabat dan mengotori kesuciannya. Wah, bahaya, Non!
Tapi ironisnya, di saat kaum wanita negeri ni menggembar-gemborkan emansipasi di segala bidang, ternyata orang-orang di Barat sudah mulai meninggalkannya sedikit demi sedikit. Malah ada yang sampai mengkritik para wanita di negerinya yang rela bekerja hingga tak peduli akan kehormatan dirinya. Paling tidak, Anna Rued yang menulis dalam sebuah bukunya—Eastern Mail, ia menyebutkan bahwa “Kita harus iri kepada bangsa-bangsa Arab yang telah mendudukkan wanita pada tempatnya yang aman. Dimana hal itu jauh berbeda dengan keadaan di negeri ini (Inggris) yang membiarkan para gadisnya bekerja bersama laki-laki di kilang-kilang minyak—yang tidak saja menyalahi kodrat—tetapi bisa menghancurkan kehormatannya.”
Nah, dalam urusan wanita ini, lebih jauh Rasulullah telah mengajarkan kepada kita melalui sabdanya:“Sebaik-baik kalian adalah yang selalu berbuat baik terhadap istri-istri kalian.” (HR Turmidzi)
Kemudian sabdanya yang lain adalah: “Takutlah kepada Allah dan hormatilah kaum, wanita.” (HR Muslim)
Kata orang, sejarah yang buruk itu memang getir, tetapi banyak orang juga tak bisa belajar dari kegetiran sejarah. Apa maksudnya? Sebagai contoh, kaum wanita sekarang kini tengah dilanda kegetiran hidup, di semua sektor ternyata membuat dirinya tak aman. Semuanya menyisakan masalah bagi wanita dan menempatkannya sebagai korban. Nah, agar tak terus jadi korban lingkungan yang tak ramah ini, maka sudah saatnya para wanita sadar akan ‘sejarahnya’ sekarang ini yang amburadul bin kusut. Tidak hanya sadar, tapi juga harus berusaha untuk lepas dari kegetiran hidup itu. Kalau mau bijaksana, tentu harus bercermin kepada Islam.
Kenapa Islam? Karena hanya Islam lah yang telah menempatkan para wanita pada posisi yang seharusnya dan sewajarnya. Islam akan melindungi kehormatan wanita, dan akan memberikan rasa aman, termasuk buat para gadis macam kamu. Hanya saja hal ini kembali kepada kaum wanita apakah mereka ingin menjadi baik atau tetap menjadi korban. Yang jelas Islam telah memberikan segalanya bagi wanita. Dan itu hanya bisa dicapai ketika Islam direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam sebagai sebuah ideologi alias Islam diterapkan sebagai aqidah dan syariat dalam sebuah negara. Tidak seperti sekarang, Islam cuma etalase. Atau cuma simbol belaka, tidak dijadikan sebagai pengatur kehidupan.
Jadi pilih mana, tetap jadi korban atau ikut Islam? Ya, pilih Islam, dan lupakan sistem yang lain! [o.solihin | Twitter @osolihin | Blog: www.osolihin.net]

Sumber: gaulislam.com

Marah Bikin Jantung Sengsara

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau. (HR. Imam Ahmad)
Ternyata marah menyimpan bahaya luar biasa bagi pelakunya, dan diantara organ yang paling peka terhadap reaksi marah ini adalah jantung, disamping pelakunya akan kehilangan kendali dan hilang akal. Untuk itu larangan Rasulullah SAW : Laa Taghdhab, Laa Taghdhab, Laa Taghdhab…(jangan marah, jangan marah, jangan marah…) merupakan peringatan penting, bahwa marah hanya bikin jantung sengsara dan pelakunya menderita jasmani dan rohani.
Dari Abu Hurairah Radliyallahu anhu, bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shalallahu alaihi wasallam : “Berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda : “Jangan menjadi seorang pemarah.” Kemudian diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda : “Janganlah menjadi orang pemarah”. (HR. Bukhari)
Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan makna hadits mengandung dua kemungkinan:
Pertama: Hadits ini mengandung perintah melakukan sebab-sebab yang menjadikan akhlak yang mulia seperti bersikap lembut, pemalu, tidak suka mengganggu, pemaaf, tidak mudah marah.Kedua: Hadits ini mengandung larangan melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan, mengandung perintah agar sekuat tenaga menahan marah ketika timbul/berhadapan dengan penyebabnya sehingga dengan demikian dia akan terhindar dari efek negatif sifat pemarah.Sehingga Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mangajarkan cara-cara menghilangkan kemarahan dan cara menghindari efek negatifnya
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: ““Sesungguhnya marah itu dari syaithan dan syaithan itu dicipta dari api, dan api itu diredam dengan air maka apabila diantara kalian marah berwudlulah. (HR. Ahmad)
Al Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan ada 4 hal pemicu marah, barangsiapa yang mampu mengedalikannya maka Allah akan menjaga dari syetan dan diharamkan dari neraka : yaitu seseorang mampu menguasai nafsunya ketika berkeinginan, cemas, syahwat dan marah. Empat hal ini yaitu keinginan, cemas, syahwat dan marah merupakan pemicu seluruh kejelekan dan kejahatan bagi orang yang tidak mampu mengendalikan nafsunya.
Berdasarkan penyelidikan ilmiah mengenai pengaruh fisiologis akibat marah, yaitu adanya berbagai perubahan dalam seluruh anggota tubuh. Seluruh jalan fungsi tubuh yang alamiah berubah pada waktu marah. Hormon adrenalin dan hormon-hormon lainnya menyalakan bahan bakar pada saat marah muncul. Marah akan “mempercepat” kematian. Amarah yang terjadi pada seseorang akan memengaruhi atas kualitas kesehatannya. Menurut para ahli kesehatan, amarah dapat menyebabkan kematian secara mendadak.
Dalam buku “Sehat Berpahala” karya Dr.Egha Zainur menyatakan, membiasakan dengan sifat marah berarti bersiap dengan tingginya kolesterol dan tekanan darah dalam jangka waktu lama. Resiko stroke dan gangguan jantung mengancam akibat peningkatan tekanan darah yang otomatis terjadi pada orang yang marah. Para peneliti mempercayai bahwa pelepasan hormon stress, kebutuhan oksigen yang meningkat oleh sel-sel otot jantung, dan kekentalan yang bertambah dari keping-keping darah, yang memicu pembekuan darah menjelaskan bagaimana kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika marah, detak jantung meningkat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan oleh karenanya memperbesar kemungkinan terkena serangan jantung..
Marah juga dapat membinasakan hati dan merupakan salah satu penyakit hati yang kalau dibiarkan akan dapat merusak diri secara keseluruhan. Imam Ja’far Ash-Shadiq as berkata,”Amarah membinasakan hati dan kebijaksanaan, barangsiapa yang tidak dapat menguasainya, maka ia tidak akan dapat mengendalikan pikirannya.”
Untuk itu Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, disebutkan hadits dari Ibnu Masud Radliyallahu anhu Rasulullah bersabda : “Siapa yang dikatakan paling kuat diantara kalian ? Sahabat menjawab : yaitu diantara kami yang paling kuat gulatnya. Beliau bersabda : Bukan begitu, tetapi dia adalah yang paling kuat mengendalikan nafsunya ketika marah. (HR. Muslim)
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam juga bersabda : ”Tidaklah seorang hamba menahan kemarahan karena Allah Subhanahu wa Taala kecuali Allah Subhanahu wa Taala akan memenuhi baginya keamanan dan keimanan. (HR. Abu Dawud). Untuk itu Rasulullah memberikan panduan guna mengendalikan amarah:
1. Membaca taawudz ketika marah.
Al Imam Bukhari dan Al Imam Muslim rahimakumullah meriwayatkan hadits dari Sulaiman bin Surod Radliyallahu anhu: Ada dua orang saling mencela di sisi Nabi Shalallahu alaihi wasallam dan kami sedang duduk di samping Nabi Shalallahu alaihi wasallam . Salah satu dari keduanya mencela lawannya dengan penuh kemarahan sampai memerah wajahnya. Maka Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya aku akan ajarkan suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilang apa yang ada padanya. Yaitu sekiranya dia mengucapkan :Audzubillahi minasy Syaithani rrajiim. Maka mereka berkata kepada yang marah tadi : Tidakkah kalian dengar apa yang disabdakan nabi? Dia menjawab : Aku ini bukan orang gila”.
2. Dengan duduk
Apabila dengan taawudz kemarahan belum hilang maka disyariatkan dengan duduk, tidak boleh berdiri. Al Imam Ahmad dan Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan hadits dari Abu Dzar Radliyallahu anhu bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian marah dalam keadaan berdiri duduklah, jika belum hilang maka berbaringlah.”
Hal ini karena marah dalam berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk dan berdiri.
3. Tidak bicara
Diam tidak berbicara ketika marah merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan kemarahan, karena banyak berbicara dalam keadaan marah tidak bisa terkontrol sehingga terjatuh pada pembicaraan yang tercela dan membahayakan dirinya dan orang lain. “Apabila diantara kalian marah maka diamlah. Beliau ucapkan tiga kali. (HR. Ahmad)
4. Berwudlu
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya marah itu dari syaithan dan syaithan itu dicipta dari api, dan api itu diredam dengan air maka apabila diantara kalian marah berwudlulah.(HR. Ahmad)
Meski demikian tidak semua kemarahan itu tercela, ada yang terpuji, bahkan sampai pada tingkatan harus marah yaitu ketika kita melihat agama Allah direndahkan dan dihinakan. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang dibenci Allah maka beliau tidak diam, beliau marah dan berbicara.
Ketika Nabi Shalallahu alaihi wasallam melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini. (HR. Bukhari Muslim)
Nabi Shalallahu alaihi wasallam juga marah terhadap seorang sahabat yang menjadi imam shalat dan terlalu panjang bacaannya dan beliau memerintahkan untuk meringankannya. Tetapi Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tidak pernah marah karena pribadinya.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Anas radhiyallahu anhu selama 10 tahun membantu rumah tangga Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tidak pernah mendapati ucapan “ah” sekalipun dari Rasulullah. Bahklan beliau tidak pernah berkomentar terhadap apa yang dikerjakan Anas : “Mengapa kamu berbuat ini?. Dan terhadap apa yang tidak dikerjakan Anas: “Tidakkah kamu berbuat begini”?
Begitulah keadaan beliau senantiasa berada diatas kebenaran baik ketika marah maupun ketika dalam keadaan ridha/tidak marah. Dan demikianlah semestinya setiap kita selalu diatas kebenaran ketika ridha dan ketika marah. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu berbicara yang benar ketika marah dan ridha. (Hadits shahih riwayat Nasai).
(DI NUQIL OLEH TABLOID BEKAM EDISI8 JANTUNG/berbagai sumber) IRFAN

Sumber: tabloidbekam.wordpress.com

Hukum Bermain Musik Menurut Islam


Hukum yang terkait dengan menggunakan alat musik dan mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sebagai berikut:
Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan.” (HR Bukhari)
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata: ‘Wahai Nafi’ apakah engkau dengar? Saya menjawab:”Ya”. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata: ”Tidak”. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini: ”Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin: Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?” Rasul menjawab: ”Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan.” (HR At-Tirmidzi).
Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik.
Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy’ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits shahih Bukhori, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shohih, karena terdapat dalam hadits shohih Bukhori, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.
Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun hadits ini shohih, maka Rasulullah saw. tidak jelas mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar.
Sedangkan hadits ketiga adalah hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shohih.
Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sebagai berikut: Ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola.” Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi. Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar.
Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata: ”Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:” Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair:” Dengan ini akal seseorang bisa seimbang.”
Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik. Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap waro’ (hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah. Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:
Pertama: Lirik Lagu yang dilantunkan. Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara’ maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara’ maka dilarang.
Kedua: Alat Musik yang Digunakan. Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.
Ketiga: Cara Penampilan harus dijaga agar tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara’ seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.
Keempat: Akibat yang ditimbulkan. Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi’ (menutup pintu kemaksiatan).
Kelima: Aspek Tasyabuh. Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Keenam: Orang yang menyanyikan. Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS Al-Ahzaab 32) Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Amiin.
Wallahu A`lam Bish-Showab,

Sumber: Fimadani.com

Kamis, 19 April 2012

Tuanku Nan Renceh, Sang Panglima Syariat Islam

Tuanku Nan Renceh, Sang Panglima Syariat Islam

Tuanku Nan Renceh adalah seorang panglima kaum paderi yang tegas dan penuh wibawa. Berhasil melaksanakan pemurnian Islam ke setiap nagari di Ranah Minang, sampai-sampai kewajiban menunaikan shalat dikontrol sangat ketat
Kejayaan Islam di Ranah Minang (Sumatera Barat) pernah mencapai puncaknya ketika kaum paderi (ulama) dipimpin oleh ‘Abdullah Tuanku Nan Renceh. Kekuasaannya menghunjam sampai lembaga pemerintahan nagari yang diberi hak otonom oleh Kerajaan Minangkabau. Kerajaan tersebut kala itu berpusat di Pagaruyung.
Pusat kekuasaan kaum paderi sendiri berada di teritorial Luhak (Kabupaten) Nan Tuo, yakni Luhak Agam, Tanah Datar, dan Luhak Nan Limopuluah Dikoto. Atau, seluas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Agam, Tanah Datar, dan Kabupaten 50 Kota sekarang.
Pada masa itu, kaum paderi benar-benar memegang kendali pemerintahan dan kemasyarakatan untuk mengamalkan syariat Islam. Kondisinya tak jauh berbeda ketika jazirah Arab dikuasai kaum Wahabi atau Salafi  yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).
Sejarah kelahiran pergerakan kaum paderi di Ranah Minang memang tak dapat dilepas dari pergerakan kaum Wahabi di jazirah Arab. Pergerakannya berawal pada tahun 1802 ketika “Tiga Serangkai” pulang dari Makkah, yakni Haji Miskin dari Pandai Sikek (Pandai Sikat) Luhak Agam, Haji Muhammad Arief dari Sumanik, Luhak Tanah Datar (dikenal dengan Haji Sumanik), dan Haji Abdurrahman dari Piobang, Luhak Limopuluah Dikoto (dikenal dengan Haji Piobang). Ketiganya dikenal dengan sebutan Haji Nan Tigo. Mereka mendalami ajaran Wahabi saat belajar di tanah suci Makkah hampir 10 tahun lamanya.
Panglima Paderi
‘Abdullah adalah putra dari Incik Rahmah, pemuka suku Koto Nagari Kamang Mudik, yang lahir di Jorong Bansa, Nagari Kamang Mudik, Luhak Agam, tahun 1762. Sejak kecil, Abdullah senantiasa giat memperdalam ilmu agama.
Ia merasa tidak cukup hanya belajar pada guru mengaji tingkat nagari sebagaimana tradisi anak muda seusianya kala itu. Abdullah melakukan terobosan dengan belajar di kampung lain, tepatnya di surau Tuanku Tuo di Cangkiang, Luhak Agam.
Tamat dari pendidikan model surau, ‘Abdullah masih belum merasa puas. Dia bukannya kambali ke kampung halaman, tetapi meneruskan perjalanan ke Ulakan, Padang Pariaman.
Hampir lima tahun menuntut ilmu, barulah ‘Abdullah kembali ke Jorong Bansa. Begitu sampai di kampung, ‘Abdullah mendengar kabar ada ulama besar di Pandai Sikek yang baru pulang dari Makkah. Namanya Haji Miskin. ‘Abdullah yang saat itu baru tiba di rumah langsung saja berangkat ke Pandai Sikek.
Sesampai di sana, betapa kecewanya ‘Abdullah karena Haji Miskin tak ditemukan. Dia lebih kecewa lagi ketika mengetahui bawa Haji Miskin yang baru pulang itu hanya sebentar berada di Pandai Sikek. Ternyata tokoh yang ia buru itu harus pergi lagi karena dakwahnya tak diterima oleh masyarakat kampungnya sendiri.
Bagi ‘Abdullah, kabar “diusirnya” Haji Miskin justru membuat penasaran. Pikirnya, kalaulah apa yang dibawa Haji Miskin tak terlalu istimewa, tentulah perlawanan dari orang kampung sendiri tidak sehebat itu.
Ternyata benar. Begitu ketemu Haji Miskin di tempat pengungsiannya, Nagari Ampek Angkek (Empat Angkat), Abdullah mendapat pelajaran tentang pemurnian gerakan Islam. Ajaran ini sama dengan yang digerakan oleh kaum Wahabi di jazirah Arab.
Haji Miskin memberikan pengajian secara berkesinambungan, dibantu oleh dua karibnya yakni Haji Piobang dan Haji Sumanik. Lalu, bergabung pula beberapa tokoh Islam lainnya, seperti Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Lintau, Tuanku Ladang Laweh (Ladang Luas), Tuanku Dikoto Padang Lua (Padang Luar), Tuanku Galung, Tuanku Dikoto Ambalau, dan Tuanku Dilubuk Aua (Lubuk Aur). Mereka masing-masing adalah ulama di kampungnya.
Para ulama itu kemudian berbai’at kepada Haji Miskin untuk melancarkan gerakan penegakan syariat Islam yang mereka beri nama gerakan kaum paderi. Mereka ini kemudian dikenal sebagai Dewan Pimpinan Paderi dengan julukan “Harimau Nan Salapan” (Harimau yang Delapan). ‘Abdullah ditunjuk sebagai pimpinan merangkap panglima perang dengan gelar Tuanku Nan Renceh Al-Mujaddid. Sementara Haji Miskin diangkat sebagai hakim.
Menurut Angga Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, gerakan Paderi pimpinan Nan Renceh adalah gerakan sistemik dengan angkatan perang yang mirip angkatan perang Turki. Memang, Nan Renceh beberapa kali mengirimkan beberapa prajurit terbaiknya untuk belajar bertempur di Kesultanan Turki.
Kala itu ilmu peperangan Kesultanan Turki sudah maju. Pasukan Jenitsar Cavalary Turki pernah menghalau dan menghancurkan tentara Napoleon Bonaparte. Di antara tentara paderi yang dikirim tersebut adalah Tuanku Kulawat. Ia malah sempat berperang bersama tentara Turki melawan tentara Napoleon tahun 1809 sampai 1812. Kemudian, Tuanku Gapuak (1809-183), Tuanku Rao (1812-1815), dan Tuanku Tambusai (1817-1821).
Perjuangan kaum paderi, seperti dicatat oleh Haji Piobang, memiliki tiga target fase. Pertama, jangka tujuh tahun sudah harus merebut seluruh pulau Andalas dan Semenanjung Malaya. Kedua, jangka tiga tahun kemudian sudah harus merebut kekuasaan di Pulau Jawa dan pulau-pulau kecil di timurnya. Ketiga, merebut seluruh tanah Jawi (Nusantara), kemudian bekerjasama dengan pasukan Dato’ Haji Onn. Pasukan yang terakhir ini kabarnya sudah berhasil merebut kekuasaan di Filipina Selatan, Kalimantan Utara, dan Kepulauan Sangihe.
Tegas Tegakkan Hukum Islam
Selama masa kepemimpinan ‘Abdullah Tuanku Nan Renceh (1762-1825), menurut sejarawan Ampera Salim, kaum paderi berhasil melaksanakan pemurnian Islam dan masuk ke setiap ruang lingkup pemerintahan nagari. Sampai-sampai kewajiban menunaikan shalat dalam kehidupan masyarakat setiap nagari dikontrol dengan sangat ketat.
Usai shalat Shubuh di surau-surau, Nan Renceh menurunkan Laskar Paderi keliling kampung. Mereka bertugas memeriksa batu tapakan yang sudah disediakan di setiap pintu masuk rumah penduduk. Apabila batu itu basah, diketahuilah bahwa penghuni rumah sudah melaksakan shalat Shubuh. Tapi bila tidak, penghuni rumah akan langsung diinterogasi.
Andai belum shalat karena tertidur, maka diperintahkan segera menunaikan shalat. Bila tiga kali didapati tidak juga menunaikan shalat–ditandai dengan batu tapakan yang tidak basah–maka penghuni rumah harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi bila kemudian terbukti meninggalkan shalat kembali, maka penghuni rumah harus meninggalkan nagari.
Nan Renceh juga berhasil membudayakan pakaian jubah putih bagi laki-laki dan kerudung bagi perempuan. Bagi mereka yang akan dipilih menjadi wali nagari (kepala pemeritahan nagari) harus mampu menjadi imam shalat berjamaah.
Hukum Islam yang ditegakkan kaum Paderi dalam masa kepemimpinan Nan Renceh sangat tegas dan berwibawa. Ampera Salim juga menyebutkan, pernah suatu kali etek (adik ibu/ayah) Nan Renceh sendiri tak mengindahkan aturan yang diberlakukan Pemerintah Negara Darul Islam Minangkabau. Dia enak saja meneruskan kebiasaan minum tuak dan menghisap candu.
Memang, orang dekat Nan Renceh, yakni Hassan Nasution, pernah menegur si etek agar menghentikan kebiasaannya. Tapi dia tetap menolak. Bahkan ketika ditawarkan agar diungsikan ke Kuantan, si etek tegas-tegas menolak.
Demi tegaknya wibawa hukum Islam, si etek divonis hukuman mati. Eksekusi dilakukan dengan pedang oleh Haji Idris dan Haji Hassan. Kejadian ini berlangsung dalam tatapan tenang seorang Tuanku Nan Renceh. Baginya, penegakan wibawa hukum Islam lebih peting daripada saudara sendiri yang mengingkarinya. (hidayatullah)
*gambar ilustrasi

Sumber: fimadani.com

Hasil Ujian Nasional Bukan Segalanya

photo by agoes rudianto
Kualitas kehidupan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh faktor pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Negara maju yang penduduknya sudah sejahtera dapat dipastikan memiliki kualitas pendidikan yang baik. Memang salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan data yang bersumber dari Human Development Report UNDP tahun 2005 menunjukkan bahwa peringkat Human Development Index atau kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan 110. Indonesia berada jauh di bawah Filipina (84), Thailand (73), Malaysia (61), Brunei Darussalam (33) dan Singapura (25).
Oleh karena itu, berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional antara lain melalui perubahan regulasi dengan disahkannya UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Usaha lain yang telah dan terus dilaksanakan yaitu pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan serta peningkatan mutu manajemen sekolah.
Peningkatan mutu pendidikan memang harus menjadi program utama untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Untuk itu, sejak tahun 2003 pemerintah membuat kebijakan tentang Ujian Akhir Nasional (UAN) melalui Kepmendiknas No. 153/U/2003. Pada tahun-tahun sebelumnya, ujian yang diselenggarakan dinamakan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Siswa dinyatakan lulus jika nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam EBTANAS adalah enam, meski terdapat satu atau beberapa mata pelajaran bernilai di bawah tiga. Namun, mulai 2003, siswa kelas 3 SMP dan 3 SMA harus belajar lebih keras agar nilai murni UAN tidak kurang dari angka tiga karena soal Ujian Akhir Nasional dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak bisa mengatrol nilai UAN.
Para siswa yang tidak lulus UAN masih diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulangan UAN selang satu minggu sesudahnya. Jika dalam ujian ulangan UAN siswa tetap memiliki nilai kurang dari angka tiga, maka dengan terpaksa mereka dinyatakan tidak lulus atau hanya dinyatakan tamat sekolah. Pada tahun 2004 Departemen Pendidikan Nasional kembali menaikkan standar kelulusan dari 3,01 menjadi 4,01. Sebenarnya angka nilai minimal 4,01 ini terbilang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju yang mempunyai batas minimal nilai enam. Depdiknas juga mengeluarkan keputusan berani dengan ditiadakannya ujian ulang UAN bagi siswa yang tidak mencapai batas minimal kelulusan. Artinya, bagi siswa yang gagal meraih angka lebih dari 4,01 maka siswa yang bersangkutan harus mengulang tahun depan atau dinyatakan tidak lulus.
Namun, menjelang berlangsungnya Ujian Akhir Nasional, kebijakan tidak ada UAN ulang itu dibatalkan, setelah mendapat masukan dari masyarakat. Kontroversi yang terjadi pada UAN tahun 2004 adalah tentang konversi nilai UAN yang dianggap merugikan siswa-siswa yang pandai dan lebih menguntungkan siswa yang kurang pandai.
Pada tahun 2005 Depdiknas kembali menaikkan standar kelulusan dari 4,01 menjadi 4,25 dan merubah nama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi Ujian Nasional (UN). Yang membedakan UN 2005 dengan UAN adalah janji Mendiknas yang tidak akan mengulang kembali skandal konversi nilai seperti kejadian tahun 2004.
Hal yang berbeda pada tahun 2005 adalah Depdiknas memberikan kesempatan kepada peserta didik yang belum lulus ujian nasional tahap pertama, mengikuti ujian nasional tahap kedua hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus. Ujian nasional tahap kedua diadakan pada tanggal 22, 23, dan 24 Agustus 2005 untuk SMA/MA/SMK/SMALB, SMP/MTs/SMPLB. Selain itu, Depdiknas mengeluarkan edaran kepada perguruan tinggi dan SMA/MA/SMK bahwa mereka dapat melakukan penerimaan bersyarat bagi siswa yang belum lulus UN.
Sejak kemunculannya UAN yang kemudian berubah nama menjadi UN selalu memunculkan kontroversi. Walaupun diyakini keberadaan UN sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan tapi terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam pelaksanaan UN tersebut. UN dinilai hanya mengukur satu aspek kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif. Padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, UN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik. Padahal, menurut pasal 57 UU Sisdiknas, mutu pendidikan seharusnya didasarkan pada evaluasi yang mencakup peserta didik, lembaga, dan program pendidikan.
UN dianggap mengabaikan muatan kurikulum yang menganut prinsip kemajemukan potensi daerah dan peserta didik. Sebab menurut pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, kurikulum harus dikembangkan dengan menggunakan prinsip kemajemukan (diversifikasi) potensi daerah dan potensi peserta didik. UAN juga telah merampas kewenangan pendidik/guru dan sekolah untuk melakukan evaluasi hasil belajar dan menentukan kelulusan peserta didik. Menurut pasal 58 ayat 1 dan pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar dan penentuan kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/guru dan satuan pendidikan/sekolah.
Satu hal yang menjadi polemik besar dalam pelaksanaan UN adalah nilai hasil UN sebagai penentu kelulusan siswa. Mereka yang sudah susah payah bersekolah selama tiga tahun di SMA/SMK/MA atau SMP/MTs ditentukan nasibnya hanya dengan tiga mata pelajaran saja masing-masing selama dua jam. Ketentuan bahwa nilai UN menjadi penentu kelulusan menyebabkan banyak siswa dan guru berpikir pragmatis menghadapi UN. Apalagi ketika tidak lulus nasibnya jauh lebih sulit seperti harus mengikuti kelas penyetaraan yang semua orang tahu citra kelas penyetaraan sama dengan drop out alias DO. Tidak ada cara lain selain berbagai cara ditempuh untuk lulus UN.
Pada sisi lain kecurangan terjadi karena guru berpikir pelaksanaan UN, di samping menjadi kesempatan mencari pendapatan tambahan, merupakan ajang mencari muka dengan kepala sekolah dan kepala dinas. Bukan rahasia lagi dinas-dinas pendidikan daerah menargetkan sekolah agar meluluskan siswanya 100% tidak peduli bagaimana caranya. Sejumlah kecurangan yang terungkap mengiringi UN mencerminkan adanya simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan antara guru dan siswa. Kelulusan 100% juga menjadi promosi gratis mendapat siswa baru pada tahun ajaran mendatang. Hasil jeblok berarti menutup peluang mendapat siswa baru.
Untuk itu, di setiap sekolah biasanya dibentuk ”tim sukses” yang akan berusaha dengan cara apa saja agar para siswanya lulus UN. Cara yang dilakukan mulai dari yang ”baik-baik” seperti mengadakan program bimbingan belajar secara intensif untuk siswa kelas tiga sampai dengan pembekalan mental. Ada juga tim sukses yang bertindak bukan seperti layaknya seorang pendidik. Mereka menghalalkan segala cara untuk mensukseskan pelaksanaan UN di sekolahnya. Para guru itu tidak ada bedanya dengan tim sukses calon kepala daerah yang terkadang tidak perduli berbuat curang asal calonnya bisa menang.
Benang kusut pelaksanaan UN ini akan terus berlanjut jika semua pihak tidak berusaha untuk menguraikan akar permasalahannya dan mencari solusi bersama. Kita harus menyepakati pentingnya UN sebagai salah satu bukan satu-satunya cara meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus dibenahi dan diperbaiki secara bertahap. Diantaranya yaitu:
Pemerintah hendaknya tidak memaksakan diri untuk mendapatkan hasil instan dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan menaikkan nilai standar kelulusan tiap tahunnya. Sejak diberlakukannya UAN tahun 2003 sampai sekarang, setiap tahun nilai standar kelulusan itu terus bertambah. Mulai dari 3,01 sampai 5,00 pada tahun ini. Padahal banyak faktor yang harus dibenahi terlebih dahulu untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diukur melalui hasil ujian. Misalnya sarana dan prasarana belajar, upgrading guru, pemantapan kurikulum yang terus berganti dan lain sebagainya.
Seharusnya nilai standar kelulusan bertambah secara bertahap dan terprogram dalam rentang waktu yang cukup agar semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan seperti siswa, guru, kepala sekolah termasuk di dalamnya orang tua bisa menyiapkan diri.
Hasil ujian nasional seharusnya tidak menjadi penentu kelulusan satu-satunya. Selain tidak sesuai dengan pasal 35 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Hal ini juga bertentangan dengan kaidah pendidikan itu sendiri. Hasil pendidikan tidak bisa disederhanakan dengan hanya kemampuan menjawab soal. Pendidikan adalah sebuah proses dalam pembentukan kepribadian seorang manusia yang tidak hanya terpusat pada aspek kognitif semata. Penilaian siswa tidak bisa diukur hanya dalam waktu tiga hari pelaksanaan ujian nasional tapi setiap hari selama proses kegiatan belajar mengajar berlangsung.
Oleh karena itu, seharusnya kelulusan siswa dikembalikan kepada guru dan sekolah sebagai pihak yang paling tahu proses perkembangan siswa itu sendiri. Nilai UN bisa dijadikan sebagai salah satu faktor penentu predikat kelulusan, apakah mereka lulus dengan predikat sangat baik, baik atau cukup. Nilai UN juga bisa digunakan sebagai salah satu faktor penilaian keberhasilan sekolah dalam proses belajar mengajar.
Pendidikan harus berorientasi kepada proses bukan hasil. Jika segala sesuatu yang kita lakukan hanya bertujuan untuk mencapai hasil maka segala cara akan dilakukan untuk meraih hasil yang diinginkan.
Walaupun cara-cara tersebut bertentangan dengan peraturan. Jadi yang perlu menjadi perhatian semua pihak termasuk pemerintah, kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua adalah bagaimana proses pendidikan itu berlangsung bukan cuma melihat hasilnya. Percuma nilai UN bagus dan lulus tapi hasil berbuat curang. Siswa tidak akan termotivasi untuk belajar, usaha guru dalam proses kegiatan belajar mengajar pun tidak terukur dan niat pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak akan pernah tercapai. Marilah kita jujur pada diri kita sendiri bagaimana pendidikan kita akan maju jika semua pihak ingin mendapatkan hasil yang baik tanpa mau berusaha dan bekerja. Hanya demi selembar kertas surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) idealisme guru sebagai pendidik dikorbankan.
Peran orangtua siswa juga tidak kalah penting dalam proses pendidikan. Orangtua seharusnya mampu memotivasi siswa untuk meraih apa yang mereka inginkan dengan belajar. Mereka jangan menyerahkan semua proses pendidikan anaknya ke sekolah karena sekolah hanyalah salah satu sarana memperoleh pendidikan.
Peningkatan mutu pendidikan adalah sebuah keharusan untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Banyak hal yang harus dilakukan dimulai dari peningkatan sarana dan prasaran belajar, upgrading guru dengan sertifikasi, perbaikan kurikulum dan lain sebagainya. Tugas berat ini bukan hanya dibebankan kepada pemerintah saja tapi menjadi tugas kita bersama.
Hasil ujian nasional harus kita sikapi dengan bijaksana karena hasil ujian nasional bukanlah segalanya. Ujian nasional hanyalah salah satu proses pendidikan yang harus dilalui. Lulus ujian nasional bukan penentu keberhasilan hidup siswa. Setelah lulus sekolah, siswa akan masuk dalam sekolah yang lebih besar, sekolah kehidupan. Siapa yang bisa belajar di sana, mereka akan berhasil dalam hidupnya. Semoga.

Oleh: Akhmad Farhan, Tangerang
Sumber: fimadani.com

Khamr Musuh Liver

7 Bahaya Khamr

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’.”
- QS. Al-Baqarah: 219 –
Al-Khamr  secara bahasa artinya tertutup, diambil dari kata khimar yang berarti kerudung (penutup kepala). Khamr menurut istilah syari’at (terminologi) adalah segala sesuatu yang bisa memabukkan atau menutupi akal, entah itu terbuat dari anggur, gandum, nira atau yang lainnya, berbentuk cairan ataupun padat, tidak dibedakan cara penggunaannya apakah dengan diminum, dimakan, dihirup, melalui suntikan maupun cara lainnya.
Minuman keras juga bagian dari khamr, sifatnya berbahaya dan membahayakan bagi orang yang meminumnya. Bahkan laknat Nabi ï·º atas bisnis khamr (minuman keras) mencakup kepada sepuluh golongan, yaitu yang memerasnya, yang minta diperaskan, yang meminumnya, yang membawanya, yang minta diantarkan, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang memakan hasil penjualannya, yang membelinya dan yang yang minta dibelikan.
Sedemikian bahayanya dampak khamr bahkan Rasulullah ï·º pun melarang menggunakannya sebagai obat, walau sebagian kalangan menyatakan khamr mengandung manfaat baik dikonsumsi sebagai minuman atau sebagai bahan campuran obat seperti obat bentuk eliksir. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Rasulullah ï·º pernah ditanya tentang khamr yang dicampurkan dengan obat. Beliau bersabda, “khamr itu penyakit, bukan obat.” (H.R. Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Allah telah menegaskan bahwa minuman keras itu penyakit, maka tidak mungkin dijadikan obat. Minuman keras juga bisa menciptakan perangai buruk pada tubuh dan pikiran seseorang. Karena, tubuh secara alami juga akan menerima reaksi dari struktur minuman keras secara nyata sekali.
Dalam minuman keras tidak ada unsur obat sama sekali yang Allah ciptakan di dalamnya. Menurut kalangan ahli medis dan ahli fiqih serta ahli ilmu kalam berpendapat senada yaitu minuman keras amatlah berbahaya bagi otak yang merupakan sentral pikiran manusia.
Khamr di dunia, walaupun dinamai dengan nama lain seperti “bir” yang dalam bahasa Arab “al birru” berarti kebaikan, tapi khamr di dunia tetap mutlak minuman yang tidak baik dan meminumnya berarti mengikuti langkah-langkah setan.
Dalam hadits lain, Nabi ï·º bersabda, ”Barangsiapa yang meminum khamr di dunia -kemudian dia mati- sedangkan dia biasa meminumnya dan tidak bertaubat darinya, niscaya dia tidak akan meminumnya di akhirat (dalam surga).” (HR. Muslim)
Khamr surga berbeda dengan khamr di dunia karena ia tidak mengandung alkohol dan tidak memabukkan, hal ini telah Allah tegaskan dalam surat Ash Shaaffat ayat 47 yang berbunyi, “Tidak ada dalam khamr itu alkohol dan mereka tidak mabuk karenanya.”
Dalam surat Ash Shaaffat tersebut dijelaskan alkohol dengan kata “ghaul.” Sebagaimana diketahui bahwa Jabir bin Hayyan adalah orang yang pertama kali memperhatikan adanya zat dalam khamr, yaitu pada tahun 800 M. Zat tersebut rasanya membakar dan cepat menguap, menghilangkan akal dan pandangan. Kemudian Jabir bin Hayyan memeras zat ini dengan kadar sedikit dan dinamakan dengan “al ghaul.” Ghaul inilah zat pada khamr yang menyebabkan penyakit. Lalu datang sesudahnya ahli kimia barat kemudian mereka memerasnya dengan takaran yang besar sehingga setelah itu terkenallah dengan penggunaan kata alkohol.
Dr. Ahmad Husain salim dalam buku menyembuhkan penyakit Jiwa Dan Fisik memaparkan bahwa menenggak  khamr (alkohol)  secara terus-menerus, maka akan mengakibatkan sirosis (pengerasan hati). Arti penyakit kronis di sini adalah hukuman mati secara perlahan-lahan terhadap penderitanya.
Dalam ilmu kimia, alkohol yang umum terkandung pada miras (khamr) disebut senyawa etil alkohol (etanol), zat ini bersifat racun dan dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh, seperti otak, saluran cerna, hati dan merusak otak janin atau bahkan menyebabkan keguguran disertai bayi lahir dalam keadaan mati. Sementara jenis lain dari alkohol yang kadang terkandung dalam miras (khamr) adalah metil alkohol atau yang sering disebut methanol. Metanol adalah zat yang amat toksik dan bagi peminumnya dapat mengalami keracunan, kebutaan mendadak atau bahkan kematian seketika.

Sumber: http://tabloidbekam.wordpress.com

Kartini, Kerinduan pada Cahaya di Tengah Gulita

picasa | salim a fillah
Menelusur berbagai kajian tentang Kartini terkait hubungannya dengan spiritualitas dan Islam, maka setidaknya kita akan menemukan empat sudut pandang;

PERTAMA: Bahwa Kartini adalah seorang Jawa tulen yang sisi spiritualnya pun berkiblat pada apa yang disebut sebagai Kejawen. “Sebagai orang Jawa yang hidup di dalam lingkungan kebatinan”, tulis Artawijaya dalam artikelnya untuk voa-ilsam.com, “Gambaran Kartini tentang hubungan manusia dengan Tuhan juga sama: manunggaling kawula gusti. Karena itu, dalam surat-suratnya, Kartini menulis Tuhan dengan sebutan ”Bapak”. Selain itu, Kartini juga menyebut Tuhan dengan istilah ”Kebenaran”, ”Kebaikan”, ”Hati Nurani”, dan ”Cahaya”, seperti tercermin dalam surat-suratnya berikut ini:
”Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.” (Surat Kartini kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902)
”Kebaikan dan Tuhan adalah satu.” (Surat Kartini kepada Ny Nellie Van Kol, 20 Agustus 1902)
KEDUA: Bahwa Kartini adalah seorang pejuang perempuan yang gerak langkahnya diilhami oleh nilai-nilai Islam. Mereka yang mempercayai pernyataan ini mengajukan bukti dengan mengutip berbagai tulisan Kartini seperti berikut ini;
”Tiada Tuhan kecuali Allah! Kata kami umat Islam, dan bersama-sama kami semua yang beriman, kaum monotheis; Allah itu Tuhan, Pencipta Alam Semesta.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 5 Maret 1902)
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah, Abdullah.” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903)
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (Surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903)
“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia punm ia sebenar-benarnya bebas” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900)
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903)
KETIGA: Bahwa Kartini adalah seorang yang sinkretis, pluralis, liberalis; banyak gagasan serta pemikirannya yang dipengaruhi oleh aliran Theosofi, Freemasonry bahkan Yahudi. Tentu saja mengutip tulisan Kartini, pernyataan ini juga tak kurang memiliki bukti;
”Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa, dan Tuhan Yang Sama.” (Surat Kartini kepada Stella Zehandelaar, 6 November 1899)
”Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali silaturrahmi antara semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau laki-laki, kepercayan, semuanya kita ini anak Bapak yang seorang itu, Tuhan yang Maha Esa!” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
”Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni. ” (Surat kepada Ny. Abendanon, 14 Desember 1902)
”Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Budha, dan itu sudah menjadi alasan untuk pantang makan daging. Waktu kecil saya sakit keras; para dokter tidak dapat menolong kami; mereka putus asa. Datanglah seorang Cina (orang hukuman) yang bersahabat denan kami, anak-anak. Dia menawarkan diri menolong saya. Orang tua kami menerimanya, dan saya sembuh. Apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar, barhasil dengan “obat tukang jamu”. Ia menyembuhkan saya dengan menyuruh saya minim abu lidi sesaji kepada patung kecil dewa Cina. Karena minuman itulah saya menjadi anak leluhur suci Cina itu, yaitu Santik Kong dari Welahan.” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)
”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan, adalah bunyi tanpa makna…” (Surat Kartini kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain” (Surat kepada Ny. Van Kol, 31 Januari 1903)
”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E. C Abendanon, 31 Januari 1903)
”Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan kita. Tuhan kita semua.” (Surat Kepada H. H Van Kol 10 Agustus 1902)
”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat Kartini kepada N. Adriani, 24 September 1902)
”Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi.” (Surat Kartini kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902).
Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat kami berpikir.” (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902).
KEEMPAT: Bahwa Kartini adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia. Sepertinya ini adalah pendangan kritis yang justru dilontarkan oleh para sejarawan meski dukungan buktinya berupa praduga.
“Kartini adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia. Atau setidaknya, bahwa proses asimiliasi yang dilakukan kelompok humanis Belanda yang mengusung Gerakan Politik Etis pada masa kolonial, telah sukses melahirkan sosok yang Kartini yang ”tercerahkan” dengan pemikiran Barat.” (Harsja W. Bachtiar, terkutip dalam Artawijaya, voa-islam.com)
”Tak banyak memang ”pahlawan” kita resmi atau tidak resmi yang dapat menggugah keluarnya sejarah dari selimut mitos yang mengitari dirinya. Sebagian besar dibiarkan aman tenteram berdiam di alam mitos—mereka adalah ”pahlawan” dan selesai masalahnya. R. A Kartini adalah pahlawan tanpa henti membiarkan dirinya menjadi medan laga antara mitos dan sejarah. Pertanyaan selalu dilontarkan kepada selimut makna yang menutupinya. Siapakah ia sesungguhnya? Apakah ia hanya sekadar hasil rekayasa politik etis pemerintah kolonial yang ingin menjalankan politik asosiasi?”(Taufik ‘Abdullah terkutip dalam Artawijaya, voa-islam.com)
Analisis Ringkas
PERTAMA: Kartini adalah seorang yang kecewa atas kehidupan beragama kaumnya, yakni muslimin Jawa. Ini ditunjukkan oleh beberapa tulisannya;
Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899)
”Dan, sebenarnyalah saya beragama Islam karena nenek moyang saya beragama Islam. Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak mengenalnya? Tidak boleh mengenalnya? Al-Quran terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apapun juga. Disini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Disini orang diajari membaca Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana.” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899)
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902)
KEDUA: Kartini adalah seorang yang berpikiran maju dan pergaulannya luas.
Dalam pergaulan itu, sahabat-sahabatnya yang orang Belanda tentu juga ada bermacam-macam. Ada yang memang tulus hati, ada yang membawa misi sesuai keyakinan yang dianutnya. Ridwan Saidi seperti terkutip dalam Gerakan Theosofi di Indonesiamencatat, “Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan istrinya Ny Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita kelahiran Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
Tokoh lain yang berhubungan dengan Kartini adalah, H. H Van Kol (Orang yang berwenang dalam urusan jajahan untuk Partai Sosial Demokrat di Belanda), Conrad Theodore van Daventer (Anggota Partai Radikal Demokrat Belanda), K. F Holle (Seorang Humanis), dan Christian Snouck Hurgronye (Orientalis yang juga menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan Hindia Belanda), dan Estella H Zeehandelar, perempuan yang sering dipanggil Kartini dalam suratnya dengan nama Stella. Stella adalah wanita Yahudi pejuang feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain sebagai pejuang feminisme, Estella juga aktif sebagai anggota Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Nama-nama lain yang menjadi teman berkorespondensi Kartini adalah Tuan H. H Van Kol, Ny Nellie Van Kol, Ny M. C. E Ovink Soer, E. C Abendanon (anak J. H Abendanon), dan Dr N Adriani (orang Jerman yang diduga kuat sebagai evangelis di Sulawesi Utara). Kepada Kartini, Ny Van Kol banyak mengajarkan tentang Bibel, sedangkan kepada Dr N Adriani, Kartini banyak mengeritik soal zending Kristen, meskipun dalam pandangan Kartini semua agama sama saja.”
Tentu saja, dalam sebuah pergaulan, saling mempengaruhi adalah hal tak terhindarkan. Yang jelas, diperlukan telaah lebih lanjut sejauh mana mereka mempengaruhi alam spiritual seorang Kartini. Sebab, Kartini pernah menulis dengan sangat berwibawa:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902) 
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902)
KETIGA: Kartini adalah seorang yang benar-benar merindukan pemahaman mendalam akan Islam, agamanya, dalam segala keterbatasan dan kekecewaan yang pernah dialaminya.
Dalam sebuah buku kecil yang ditulis oleh Asma Karimah, Tragedi Kartini (2001), terkisah tentang pertemuan Kartini dengan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang.Kyai Haji Sholeh Darat (demikian ia dikenal) sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara. Pada suatu ketika, Kartini berkunjung ke rumah pamannya seorang bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat).
Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama raden ayu yang lain dari balik hijab(tabir). Kartini tertarik dengan pengajian yang disampaikan oleh Kyai Haji Sholeh Darat yang saat itu membahas tentang tafsir Al-Quran Surah Al-Fatihah. Setelah selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai Sholeh Darat.
Berikut ini dialognya seperti ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat.
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Setelah pertemuan tersebut, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Qur’an) jilid I yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Surah Al-Fatihah sampai dengan Surah Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu, Kyai Sholeh Darat meninggal dunia sebelum menyelesaikan penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Nama Kyai Sholeh Darat tidak pernah dituliskan secara eksplisit oleh Kartini dalam surat-suratnya, namun kegembiraan Kartini menerima terjemahan Al-Quran pernah ia tuliskan dalam salah satu suratnya.
”Wahai! Kegembiraan orang-orang tua mengenai kembalinya anak-anak yang tersesat kepada jalan yang benar demikian mengharukan. Seorang tua di sini, karena girangnya yang sungguh-sungguh tentang hal itu menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa. Kebanyakan ditulis dengan huruf Arab. Sekarang kami hendak belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab. Kamu barangkali tahu, bahwa buku-buku Jawa itu sukar sekali didapat, karena ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak.” (Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 17 Agustus 1902) 
Demikianlah, menilai Kartini secara parsial akan menzhaliminya, apalagi menimbangnya dengan ukuran-ukuran masa kini. Menilainya sebagai kejawen tulen, terbantah dengan progresivitasnya yang luar biasa. Menilainya sebagai pluralis dan liberalis tulen juga keliru, sebab dalam pergaulannya Kartini memang sedang bicara dengan orang yang tak seagama dan sebagai seorang Jawa dia pasti memilih kalimat yang berhati-hati. Menilainya sebagai alat penjajahan untuk politik etis, sungguh mengabaikan pribadi Kartini yang tecermin dalam surat-surantnya benar-benar punya hati tulus yang dihadiahkan untuk kaumnya.
Adilnya, Kartini telah menunjukkan sebuah kehausan dan kerinduan pada cahaya Islam. Meski dia hanya berhasil meraihnya sekilas, tetapi alangkah agung ‘amal jariyahnya jika benar bahwa Kiai Sholeh Darat menuliskan terjemah Al Quran tersebab dialognya dengan Kartini. Itu sudah cukup untuk menjadikannya beroleh pahala tiada putus dari Allah dan penghargaan tinggi dari para mukmin sejati.
Mungkin ada yang keberatan dan menyebutnya sebagai karya kecil; dan bahwa Kartini kemudian disebut masih terlalu banyak menyimpang dari syari’at yang murni. Tentu saja, jika semua pembawa cahaya untuk zamannya ditimbang dengan ukuran masa kini, maka mereka hanya akan menjadi lentera usang penuh noda. Lihatlah Kartini dan ukurlah dengan zamannya ketika da’wah adalah kata yang nyaris asing. Selebihnya, mari berrendahhati untuk mengakui keagungan para pendahulu..

Salim A Fillah

Sumber: fimadani.com

Obat, Yes! Racun, No!


“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram.” -HR Abu Dawud-

Diantara petunjuk yang diajarkan oleh Nabi ï·º adalah bahwa beliau biasa melakukan pengobatan untuk diri sendiri dan juga memerintahkan orang lain yang terkena penyakit, baik itu keluarga atau para sahabat beliau untuk melakukan pengobatan sendiri. Namun, beliau dan para sahabatnya tidak memiliki kebiasaan menggunakan obat-obatan kimia. Kebanyakan obat-obatan yang mereka gunakan adalah makanan sehat nonkimiawi. Terkadang makanan sehat itu mereka campurkan dengan zat lain sebagai pengemulsi atau sekedar untuk menghilangkan bentuk asalnya saja.
Obat-obatan berupa makanan sehat adalah jenis obat yang biasa digunakan oleh berbagai etnis di berbagai negara, baik yaitu bangsa Arab, Turki, atau kalangan kaum badui dan yang lainnya secara keseluruhan. Hanya bangsa Romawi dan Yunani yang gemar menggunakan obat-obatan kimia. Sementara orang-orang India (Aryuveda) juga lebih banyak menggunakan obat-obatan berupa makanan sehat.
Selain itu Nabi ï·º juga melarang penggunaan barang-barang yang haram, kotor dan najis untuk dipergunakan sebagai obat. Pelarangan inilah yang membedakan pengobatan Islam dengan banyak pengobatan lainnya. Pengobatan lain selain pengobatan Islam seperti pengobatan Cina, Romawi, Mesir, dan India lazim menggunakan barang haram seperti khamr, babi, ular, katak, darah, air seni manusia, atau bahkan zat-zat beracun sebagai obat.
Imam Al-Bukhari menyebutkan dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah ï·º bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada sesuatu yang diharamkan atas kalian.”
Sebab diucapkannya hadits di atas oleh Ibnu Mas’ud adalah karena seseorang yang bernama Khutsaim Ibnu al-’Adaa’, mengeluhkan menderita sakit kuning, lalu disodorkan minuman memabukkan kepadanya yaitu khamr. Kemudian diutuslah seseorang menemui Ibnu Mas’ud untuk bertanya kepadanya terkait masalah tersebut, maka Ibnu Mas’ud menjawab dengan hadits di atas.
Ibnu Qoyyim menandaskan, bahwa sesungguhnya Allah hanya mengharamkan sesuatu kepada umat Islam tidak lain karena kejelekannya. Maka, tidak semestinya kalau sesuatu yang haram itu digunakan untuk mengobati penyakit dan sejenisnya. Meskipun barang haram itu berkhasiat menghilangkan penyakit, namun pasti akan menimbulkan penyakit yang lebih parah lagi di dalam hatinya karena kekuatan jahat yang dikandung barang haram tersebut. Artinya pasien telah berusaha menghilangkan penyakit fisik dengan resiko penyakit hati.
Ibnu Qoyyim kemudian menambahkan bahwa perkataan para dokter yang menyatakan bahwa penyakit tersebut tak bisa disembuhkan kecuali dengan obat-obatan yang haram tadi, maka ini adalah perkataan orang yang tidak tahu, dan hal tersebut tidak akan diucapkan oleh orang yang benar-benar tahu tentang ilmu kedokteran, apalagi orang yang mengenal Allah dan Rasulnya ï·º, karena kesembuhan tidak memiliki sesuatu sebab tertentu yang pasti, tidak seperti rasa kenyang yang memiliki sebab tertentu yang pasti. 
Terkadang obat dipakai, tapi tidak membawa kesembuhan, karena ada syarat yang tak terpenuhi atau adanya penghalang. Tidak seperti makan yang merupakan sebab rasa kenyang. Karenanya Allah membolehkan memakan barang haram ketika mengalami kelaparan, sementara ia tidak menemukan lagi makanan untuk bertahan hidup kecuali memakan barang yang haram. Hal seperti ini diperbolehkan, dengan syarat tidak berlebihan atau makan secukupnya saja, yaitu sekedar bertahan hidup dan bukan dimakan untuk tujuan pengobatan.
Pengobatan dengan benda haram adalah hal yang buruk, baik ditinjau dari segi akal maupun syari’at. Adapun dari segi syari’at maka keburukannya dilandaskan dari hadits-hadits yang ada. Adapun dari segi akal bahwasannya Allah telah mengharamkannya. Sebab benda haram itu kotor. Sesungguhnya Allah tidak mengharamkan  sesuatu yang baik sebagai hukuman terhadap umat Islam, sebagaimana mengharamkannya kepada bani Israil dalam Firman-Nya, “Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi Kami haramkan atas mereka memakan makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka.” (An-Nisaa’: 160).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya oleh seseorang, bagaimana jika ada seseorang yang berobat ke rumah sakit, kemudian para dokter mengatakan kepada pasien, tidak ada lagi obat yang dapat menyembuhkan penyakit si pasien, kemudian para dokter tadi menganjurkan kepada pasien untuk mengkomsumi daging anjing atau babi, atau berobat menggunakan khamr dan minuman yang memabukkan yang terbuat dari Nabiz (jus anggur), kurma dan selainnya yang dibiarkan sampai mengalami fermentasi atau memabukan?
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ibnu Taimiyyah menjawab bahwa tidak boleh berobat dengan khamr dan barang haram lainnya, karena ada dalil-dalil yang melarang hal tersebut. Ibnu Taimiyah melontarkan setidaknya ada lima dalil yang melarang penggunaan barang haram dan salah satunya adalah hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah ï·º melarang berobat dengan barang haram.” Dan dalam sebuah riwayat, “Maksudnya adalah racun.”
Muhammad bin Shalih Al-Khuzaim mengungkapkan bahwa racun dalam bahasa arabnya adalah “sum,” yang berarti sesuatu materi yang mematikan. Segala sesuatu yang mematikan bila dimakan atau diminum disebut racun. Orang yang tersengat disebut juga keracunan, yakni racun yang berasal dari kalajengking dan sejenisnya, yang menyengat tubuhnya.
Sifat makanan terbagi menjadi empat, yaitu panas atau dingin dan lembab atau kering derajat satu, derajat dua, derajat tiga, dan derajat keempat. Racun dan sebagian besar obat kimia adalah makanan berderajat metabolisme tingkat empat. Penggunaannnya dapat meningkatkan atau bahkan menurunkan sistem tubuh hingga di luar jangkauan sampai dengan efek mematikan. Beberapa herbal membahayakan seperti tanaman penghasil opium, belladonna (obat penenang), dan akar syubrum juga termasuk ke dalam kategori ini. Oleh karenanya Nabi ï·º melarang penggunaannya sebagai obat.
Makanan hingga derajat kedua adalah yang termasuk semua nutrisi (bahan gizi), seperti jahe, kurma, kenari, dan wijen. Sementara, makanan derajat metabolisme tingkat ketiga adalah bahan obat dan memiliki dosis dan masa pakai tertentu seperti Habbatussauda dan sena. Ketiga jenis derajat makanan inilah yang dipergunakan oleh Nabi ï·º untuk pengobatan.
Selain itu, formula pengobatan penyakit jasmani ada tiga, yaitu menjaga kesehatan, menjaga tubuh dari unsur-unsur berbahaya dan mengeluarkan zat-zat berbahaya dari dalam tubuh. Oleh karenanya Nabi ï·º memerintahkan setiap pengobatan penyakit dengan antinya atau penangkalnya, bukan menangkal penyakit dengan racun. Wallahu A’lam.

TB l Berbagai Sumber
Disari dari: Tabloid Bekam Edisi 12 (Liver Disakiti, Kurma Beraksi)
Sumber: tabloidbekam.wordpress.com