ROHIS SMAN 111

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

Kamis, 28 November 2013

Jangan Sampai Tinggalkan Shalat Lima Waktu!


Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini nampaknya menjadi sebab utama, kenapa banyak dari kaum muslimin tidak mengerjakan shalat. Tak usah jauh-jauh untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat 5 waktu yang wajib saja mereka tidak kerjakan padahal cukup 10 menit waktu yang diperlukan untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk. Bukan sesuatu yang mengherankan, banyak kaum muslimin bekerja banting tulang sejak matahari terbit hingga terbenam. Pertanyaannya, kenapa mereka melakukan hal itu? Karena mereka mengetahui bahwa hidup perlu makan, makan perlu uang, dan uang hanya didapat jika bekerja. Karena mereka mengetahui keutamaan bekerja keras, maka mereka pun melakukannya. Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kami akan mengemukakan pembahasan keutamaan shalat lima waktu dan hukum meninggalkannya. Semoga dengan sedikit goresan tinta ini dapat memotivasi kaum muslimin sekalian untuk selalu memperhatikan rukun Islam yang teramat mulia ini.
Kedudukan Shalat dalam Islam
Shalat memiliki kedudukan yang agung dalam islam. Kita dapat melihat keutamaan shalat tersebut dalam beberapa point berikut ini[1].
1) Shalat adalah kewajiban paling utama setelah dua kalimat syahadat dan merupakan salah satu rukun islam
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwatiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.”[2]
2) Shalat merupakan pembeda antara muslim dan kafir
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya batasan antara seseorang dengan kekafiran dan kesyirikan adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat, maka ia kafir” [3]. Salah seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, “Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.”[4]
3) Shalat adalah tiang agama dan agama seseorang tidak tegak kecuali dengan menegakkan shalat
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.”[5]
4) Amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala  mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”  Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.”[6]
5) Shalat merupakan Penjaga Darah dan Harta Seseorang
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illalloh (Tiada sesembahan yang haq kecuali Allah), menegakkan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada AllaTa’ala.”[7]
Keutamaan Mengerjakan Shalat 5 waktu
Shalat memiliki keutamaan-keutamaan berupa pahala, ampunan dan berbagai keuntungan yang Allah sediakan bagi orang yang menegakkan sholat dan rukun-rukunnnya dan lebih utama lagi apabila sunnah-sunnah sholat 5 waktu dikerjakan, diantara keutamaan-keutamaan tersebut adalah:
1) Mendapatkan cinta dan ridho Allah
Orang yang mengerjakan shalat berarti menjalankan perintah Allah, maka ia pantas mendapatkan cinta dan keridhoan Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (wahai muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
2) Selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab: 71). Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi Rahimahullahu ta’alaberkata, “Yang dimaksud dengan kemenangan dalam ayat ini adalah selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga”[8]. Dan melaksanakan sholat termasuk mentaati Allah dan Rasul-Nya.
3) Pewaris surga Firdaus dan kekal di dalamnya
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman … dan orang-orang yang memelihara sholatnya mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-11)
4) Pelaku shalat disifati sebagai seorang muslim yang beriman dan bertaqwa
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah: 2-3)
5) Akan mendapat ampunan dan pahala yang besar dari  Allah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)
6) Shalat tempat meminta pertolongan kepada Allah sekaligus ciri orang yang khusyuk
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 45)
7) Shalat mencegah hamba dari Perbuatan Keji dan Mungkar
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut: 45)
Hukum Meninggalkan Shalat
Di awal telah dijelaskan bahwa shalat merupakan tiang agama dan merupakan pembeda antara muslim dan kafir. Lalu bagaimanakah hukum meninggalkan shalat itu sendiri, apakah membuat seseorang itu kafir?
Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa dosa meninggalkan shalat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[9]
Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat, kami dapat rinci sebagai berikut:
Kasus pertama: Meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
Kasus kedua: Meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. Contoh hadits mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[10]
Kasus ketiga: Tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah (Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya).[11]
Kasus keempat: Meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5)[12]
Nasehat Berharga: Jangan Tinggalkan Shalatmu!
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“
Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“[13]
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini  hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“[14]
Semoga tulisan sederhana ini dapat memotivasi kita sekalian dan dapat mendorong saudara kita lainnya untuk lebih perhatian terhadap shalat lima waktu. Hanya Allah yang memberi taufik. [15]
Penulis: Rahmat Ariza Putra
Artikel Buletin At Tauhid, dipublish ulang oleh www.sunnahposter.com
_____________
[1] Point-point ini disarikan dari kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah
[2] HR Muslim no. 16
[3] HR Muslim no. 978
[4] Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52. [ed]
[5] HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi [ed]
[6] HR. Abu Daud. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Masyobih no. 1330 [ed]
[7] HR. Bukhari dan Muslim
[8] Aisirut Tafasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi Hafidzhahullahu, Asy Syamilah
[9] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr bin Qayyim Al Jauziyah, hal. 7, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir.[ed]
[10] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574 [ed]
[11] Lihat pula penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 7/617, Darul Wafa’.[ed]
[12] Lihat penjabaran kasus ini dalam Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Abdul Mun’im Salim, hal. 189-190. [ed]
[13] Lihat Ash Sholah, hal. 12. [ed]
[14] Lihat Ash Sholah, 35-36. [ed]
[15] Tulisan ini telah mengalami pengeditan dan penambahan seperlunya

Rabu, 27 November 2013

Bagaimana Jimat dari Ayat Al-Qur’an?


Jimat bahasa ‘Arabnya adalah tamiimah (التَّمِيْمَةُ), yaitu sesuatu yang digantungkan pada orang sakit, anak-anak, atau hewan ternak untuk menolak ‘ain, atau penyakit-penyakit lainnya, dengan segala macam hal [An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsiir 1/197, Tafsiir Al-Qurthubiy 10/319, dan Taisiirul-‘Aziizil-Hamiid hal. 136 & 137].
Hukum menggantungkan jimat – jika bukan berasal dari Al-Qur’an  atau dzikir-dzikir ma’tsuur – adalah haram, bahkan termasuk di antara macam-macam kesyirikan. Dalilnya adalah sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang menggantungkan jimat (tamiimah) sungguh ia telah berbuat syirik” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/156, Al-Haakim 4/219, Ibnu Hibbaan 13/450 no. 6086, Al-Haakim 4/216, Al-Baihaqiy 9/350, dan yang lainnya dari ‘Uqbah bin ‘Aamir radliyallaahu ‘anhu; shahih].
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Sesungguhnya mantera-mantera, jimat, dan tiwalah[2] adalah kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/381, Abu Daawud no. 3883, Ibnu Maajah no. 3530, Ibnu Hiibbaan no. 6090, dan yang lainnya dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu; shahih].
Adapun jimat yang berasal dari Al-Qur’an dan dzikir-dzikir ma’tsur, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama membolehkan, dan sebagian yang lain melarang.
1.     Membolehkan.
Ini adalah pendapat sebagian salaf dan jumhur fuqahaa’ dari kalangan Hanafiyyah[3], Maalikiyyah[4], Syaafi’iyyah[5], dan Hanaabilah[6].
Dalil yang mereka pakai adalah :
a.      Firman Allah ta’ala :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” [QS. Al-Israa’ : 82].
b.      Perkataan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa :
لَيْسَ التَّمِيمَةُ مَا يُعَلَّقُ قَبْلَ الْبَلاءِ، إِنَّمَا التَّمِيمَةُ مَا يُعَلَّقُ بَعْدَ الْبَلاءِ لِيُدْفَعَ بِهِ الْمَقَادِيرُ
“Bukan termasuk jimat (yang diharamkan) sesuatu yang digantungkan sebelum musibah/bencana tiba. Yang termasuk jimat itu hanyalah sesuatu yang digantungkan setelah musibah/bencana untuk menolak ketentuan/taqdir” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 9/350 (9/589) no. 19606].[7]
c.      Perbuatan ‘Abdullah bin ‘Amru yang menuliskan dan menggantungkan doa pada anak-anaknya yang belum baligh :
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ
Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemarahan-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dan dari bisikan-bisikan syaithaan serta kedatangannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3893, At-Tirmidziy no. 3528, dan yang lainnya[8]].
d.      Atsar sebagian salaf (taabi’iin).
أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَسَنِ، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا بَحْرُ بْنُ نَصْرٍ، ثنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي نَافِعُ بْنُ يَزِيدَ، ” أَنَّهُ سَأَلَ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ عَنِ الرُّقَى وَتَعْلِيقِ الْكُتُبِ، فَقَالَ: كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ يَأْمُرُ بِتَعْلِيقِ الْقُرْآنِ، وَقَالَ: لا بَأْسَ بِهِ “
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa bin Abi Ishaaq dan Abu Bakr bin Al-Hasan, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Ashamm : Telah menceritakan kepada kami Bahr bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Naafi’ bin Yaziid : Bahwasannya ia pernah bertanya kepada Yahyaa bin Sa’iid tentang ruqyah dan menggantungkan tulisan. Ia menjawab : “Dulu Sa’iid bin Al-Musayyib memerintahkan untuk menggantungkan Al-Qur’an, dan ia berkata : ‘Tidak mengapa dengannya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy (9/590) no. 19612; sanadnya shahih].
2.     Melarang.
Ini adalah pendapat jumhur shahabat dan taabi’iin, Ahmad dalam satu riwayat[9], Ibnul-‘Arabiy[10] dari madzhab Maalikiyyah, dan sebagian ulama Hanaabilah.
Dalil yang mereka pakai adalah :
a. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَا يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلَادَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ
Jangan sampai ada lagi tali busur panah atau tali apapun di leher onta, kecuali mesti diputuskan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3005, Muslim no. 2115, Abu Daawud no. 2552, dan yang lainnya dari Ruwaifi’ bin Tsaabit radliyallaahu ‘anhu].
عَنْ عِيسَى، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ أَبِي مَعْبَدِ الْجُهَنِيِّ أَعُودُهُ وَبِهِ حُمْرَةٌ، فَقُلْنَا: أَلَا تُعَلِّقُ شَيْئًا، قَالَ: الْمَوْتُ أَقْرَبُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
Dari ‘Iisaa, ia berkata : Aku pernah datang menengok ‘Abdullah bin ‘Ukaim Abu Ma’bad Al-Juhhaniy yang sedang sakit humrah. Kami berkata : “Tidakkah engkau menggantung sesuatu ?”. Ia berkata : “Kematian lebih dekat dari hal itu. Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu, maka ia akan senantiasa tergantung kepadanya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2072, Ahmad 3/411, Ibnu Abi Syaibah 7/371 (12/39-4) no. 23923, Al-Haakim 4/216, dan yang lainnya; hasan lighairihi].
Larangan menggantungkan jimat dalam dua hadits di atas umum, tidak membedakan antara yang berasal dari Al-Qur’an ataupun tidak.
b. Madzhab yang berlaku pada jumhur shahabat radliyallaahu ‘anhum dan taabi’iin.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ أَخْبَرَنَا مُغِيرَةُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: كَانُوا يَكْرَهُونَ التَّمَائِمَ كُلَّهَا، مِنَ الْقُرْآنِ وَغَيْرِ الْقُرْآنِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Mughiirah, dari Ibraahiim (An-Nakhaa’iy), ia berkata : “Mereka (yaitu : para shahabat dantaabi’iin) membenci semua jimat, baik yang berasal dari Al-Qur’aan maupun selain Al-Qur’aan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 7/374 (12/42) no. 23933. Diriwayatkan juga oleh Al-Qaasim bin Salaam dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 860; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ، قَالَ: سَأَلْتُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ رَجُلٍ كَانَ بِالْكُوفَةِ يَكْتُبُ مِنَ الْفَزَعِ آيَاتٍ، فَيَسْقِي الْمَرِيضَ، فَكَرِهَ ذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Husyaim : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun, ia berkata : “Aku pernah bertanya kepada Ibraahiim tentang seseorang di Kuufah yang menulis ayat-ayat untuk perlindungan dari rasa takut, lalu memberikan minum kepada orang yang sakit; maka ia membenci hal tersebut “ [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 862; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا يُونُسُ ، عَنِ الْحَسَنِ ؛ أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ ذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus, dari Al-Hasan : Bahwasannya ia membenci hal tersebut (yaitu : semua jimat, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun selainnya)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 7/374 (12/42) no. 23934; sanadnya shahih].
c. Mengikuti kaedah saddudz-dzarii’ah.
Haafidh bin Ahmad Al-Hakamiy rahimahullah berkata :
ولا شك أن منع ذلك أسد لذريعة الاعتقاد المحظور ، لا سيما في زماننا هذا ، فإنه إذا كرهه أكثر الصحابة والتابعين في تلك العصور الشريفة المقدسة والإيمان في قلوبهم أكبر من الجبال ، فلأن يكره في وقتنا هذا وقت الفتن والمحن أولى وأجدر بذلك ، كيف وهم قد توصلوا بهذه الرخص إلى محض المحرمات وجعلوها حيلة ووسيلة إليها ، فمن ذلك أنهم يكتبون في التعاويذ آية أو سورة أو بسملة أو نحو ذلك ثم يضعون تحتها من الطلاسم الشيطانية ما لا يعرفه إلا من اطلع على كتبهم……
“Dan tidak diragukan bahwa pelarangan hal tersebut dapat lebih mencegah sarana timbulnya keyakinan yang terlarang, khususnya pada jaman kita ini. Sesungguhnya jika perbuatan itu dibenci oleh kebanyakan shahabat dan taabi’iinpada waktu yang mulia lagi diberkahi, padahal keimanan yang ada pada hati-hati mereka lebih besar dibandingkan gunung, maka kebencian pada waktu kita sekarang – yaitu waktu yang penuh dengan fitnah dan cobaan – lebih layak dan pantas. Bagaimana tidak, (jika perbuatan itu diperbolehkan), maka mereka akan mempergunakan rukhshah (keringanan) ini pada hal-hal yang murni diharamkan. Mereka pun menjadikannya sebagai tipu daya dan sarana untuk menujunya (sesuatu yang diharamkan). Diantaranya, mereka menuliskan ayat, surat, ataubasmalah, lalu meletakkan di atasnya mantera-mantera syaithaniyyah yang tidak akan diketahui kecuali oleh orang yang menelaah kitab-kitab mereka……” [Ma’aarijul-Qabuul, 1/382].
Memperbolehkan menuliskan ayat atau dzikir-dzikir ma’tsuur dalam jimat yang selalu dibawa manusia akan menyebabkan terbawa ke tempat-tempat yang tidak layak.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ الْمَعَاذَةَ لِلصِّبْيَانِ، وَيَقُولُ: إِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ بِهِ الْخَلاءَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim : Bahwasannya ia membenci menuliskan doa perlindungan untuk anak-anak. Ia berkata : “Sesungguhnya mereka masuk ke kakus dengan tulisan doa tersebut” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 23823; sanadnya shahih].
Tarjih
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang melarangnya. Dalil QS. Al-Israa’ : 82 adalah umum, dan ia mesti dibawa pada semua hal yang diperbolehkan oleh syari’at melalui nash. Menggantungkan jimat dari Al-Qur’an, doa, atau dzikir sama sekali tidak ternukil dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Seandainya beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam  memperbolehkannya, niscaya beliau akan menjelaskannya sebagaimana beliau mengecualikan larangan ruqyah jika tidak mengandung kesyirikan. [11]
Atsar ‘Abdullah bin ‘Amru adalah lemah sehingga tidak bisa dipakai dalam pendalilan. Adapun atsar ‘Aaisyah, maka yang mahfudh adalah dengan lafadh :
التَّمَائِمُ: مَا عُلِّقَ قَبْلَ نُزُولِ الْبَلاءِ، وَمَا عُلِّقَ بَعْدَهُ، فَلَيْسَ بِتَمِيمَةٍ
“Jimat adalah sesuatu yang digantungkan sebelum musibah/bencana. Sedangkan sesuatu yang digantungkan setelahnya bukan termasuk jimat (yang diharamkan)”.
Atsar ini dapat dibawa pada pemahaman untuk pengobatan ruqyah, karena ia ada setelah adanya musibah (sakit atau semisalnya). Yaitu, ayat, doa, atau dzikir tersebut ditulis kemudian dibaca sebagaimana orang yang meruqyah (syar’iyyah).[12]
Apa yang dikhawatirkan ulama memang benar-benar terjadi bahwa banyak orang ‘memanfaatkan’ pendapat jumhur fuqahaa’ yang memperbolehkannya untuk melakukan praktek-praktek bid’ah dan kesyirikan. Ayat Al-Qur’an, doa, atau dzikir yang ma’tsuur hanyalah dipakai sebagai kedok, yang penulisannya dicampurkan dengan simbol, huruf, atau kalimat yang tidak dimengerti. Yang terakhir inilah yang membuat jimat berfungsi sebagai alat sihir para dukun (meski di antara mereka ada yang mengaku ustadz, kiyai, atau habib). Contohnya sebagai berikut :
Barang-barang inilah yang membonceng fatwa ulama madzhab. Banyak orang yang tertipu oleh para penipu karena keberadaan huruf atau kalimat Arabnya. Adakah orang yang bisa membaca dan memahami tulisan dan simbol dalam jimat-jimat di atas ?. Ya, ada, yaitu si dukun sendiri. Jimat-jimat yang seperti ini dibuat dan dipergunakan bukan seperti yang dijelaskan para fuqahaa’ Ahlus-Sunnah, akan tetapi dipergunakan untuk sarana bid’ah dan kesyirikan (ilmu kebal, pelet, anti tenung, tenaga dalam, dan lain-lain).[13]
Wallaahul-musta’aan.
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
Oleh : Abul-Jauzaa’

[2]      Sejenis sihir.
[3]      Haasyiyyah Ibni ‘Aabidiin, 6/363-364.
[4]      At-Tamhiid, 17/161.
[5]      Al-Majmuu’, 9/74.
[6]      Al-Aadaabusy-Syar’iyyah, 2/440.
[7]      Dhahir sanad yang dibawakan oleh Al-Baihaqiy adalah shahih :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا هَارُونُ بْنُ سُلَيْمَانَ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الأَشَجِّ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: ” لَيْسَ التَّمِيمَةُ مَا يُعَلَّقُ قَبْلَ الْبَلاءِ، إِنَّمَا التَّمِيمَةُ مَا يُعَلَّقُ بَعْدَ الْبَلاءِ لِيُدْفَعَ بِهِ الْمَقَادِيرُ “
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Sulaimaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, dari Thalhah bin Abi Sa’iid, dari Bukair bin ‘Abdillah bin Al-Asyajj, dari Al-Qaasim bin Muhammad, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Bukan termasuk jimat sesuatu yang digantungkan sebelum musibah/bencana tiba. Yang termasuk jimat itu hanyalah sesuatu yang digantungkan setelah musibah/bencana untuk menolak ketentuan/taqdir”.
Akan tetapi ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy diselisihi oleh ‘Abdaan [tsiqah - Al-Haakim 4/418, Al-Baihaqiy 9/350 (9/589) no. 19607], ‘Amru bin Raafi’ Al-Bajaliy [tsiqah lagi tsabat – Abu Nu’aim dalam Akhbaar Ashbhaan 1/137], dan Hanaad bin As-Sariy [tsiqah  - dalam Az-Zuhdno. 447] yang menyebutkan lafadh kebalikan dari riwayat di atas :
التَّمَائِمُ: مَا عُلِّقَ قَبْلَ نُزُولِ الْبَلاءِ، وَمَا عُلِّقَ بَعْدَهُ، فَلَيْسَ بِتَمِيمَةٍ
“Jimat adalah sesuatu yang digantungkan sebelum musibah/bencana. Sedangkan sesuatu yang digantungkan setelahnya bukan termasuk jimat (yang diharamkan)”.
Thalhah bin Abi Sa’iid dalam riwayat yang kedua  di atas mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin Al-Haarits (tsiqah lagi haafidh) sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/350 (9/589) no. 19608 :
أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَسَنِ قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا بَحْرُ بْنُ نَصْرٍ، ثنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ: ” لَيْسَتْ بِتَمِيمَةٍ مَا عُلِّقَ بَعْدَ أَنْ يَقَعَ الْبَلاءُ “
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa dan Abu Bakr bin Al-Hasan, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Ashamm : Telah menceritakan kepada kami Bahr bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Al-Haarits, dari Bukair bin ‘Abdillah, dari Al-Qaasim bin Muhammad, dari ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Bukan termasuk jimat sesuatu yang digantungkan setelah terjadinya musibah/bencana”.
Sanad riwayat ini shahih.
Al-Baihaqiy menguatkan riwayat kedua dan ketiga ini dibandingkan riwayat pertama. Inilah yang mahfuudhWallaahu a’lam.
[8]      Abu Daawud berkata :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّمُهُمْ مِنَ الْفَزَعِ كَلِمَاتٍ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ ” وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرٍو يُعَلِّمُهُنَّ مَنْ عَقَلَ مِنْ بَنِيهِ وَمَنْ لَمْ يَعْقِلْ كَتَبَهُ فَأَعْلَقَهُ عَلَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Hammaad, dari Muhammad bin Ishaaq, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada mereka doa untuk berlindung dari rasa takut : a’uudzu bikalimaatillaahit-taammati min ghadlabihi wa syarri ‘ibaadihi wa min hamazaatisy-syaithaani wa an-yahdluruun (Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemarahan-Nya, siksa-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dan dari bisikan-bisikan syaithaan serta kedatangannya). Dan dulu ‘Abdullah bin ‘Amru mengajarkan doa tersebut kepada anak-anaknya yang berakal/baligh; sedangkan anak-anaknya yang belum berakal/baligh, ia menuliskannya dan menggantungkannya pada anak tersebut (di lehernya) [As-Sunan no. 3893].
Kalimat yang berwarna biru adalah kalimat yang dihukumi marfuu’, sedangkan yang berwarna merah adalah mauquuf.
Hadits dengan lafadh lengkap marfuu’ dan mauquuf itu diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy 5/500 no. 3528, Ahmad 2/181, Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Al-‘Iyaal hal. 861 no. 656, Al-Haakim 1/548, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 1/476 no. 407 dan dalam Ad-Da’aawaat Al-Kubraa 2/140 no. 378 & 2/316 no. 530 dan dalam Al-Aadaab hal. 282 no. 853, Abu Bakr Al-Ismaa’iiliy dalam Mu’jam-nya hal. 462 no. 116, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaid no. 608, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 24/109-110, Ibnus-Sunniy dalam‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 348-349 no. 748, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabahhal. 2728 no. 6509, dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 71/291; semuanya dari jalan Muhammad bin Ishaaq, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.
Sanad riwayat ini lemah karena ‘an’anah Muhammad bin Ishaaq, sedangkan ia seorangmudallis [Ta’riifu Ahlit-Taqdiis, hal. 132 no. 125].
Namun riwayat yang marfuu’ (kalimat berwarna biru) dikuatkan oleh Khaalid bin Al-Waliid dan Al-Waliid bin Waliid., sehingga statusnya naik ke hasan. Tersisalah lafadh mauquuftanpa penguat, sehingga ia tetap dalam kedla’ifannya. Wallaahu a’lam.
[9] Al-Aadaabusy-Syar’iyyah, 2/443.
[10] Haasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan An-Nasaa’iy, 5/421.
[11] Maksudnya, jika menggantungkan jimat itu ada yang diperbolehkan, niscaya beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan keadaannya, yaitu jika diambil dari Al-Qur’aan, doa, atau dzikir-dzikir yang disyari’atkan. Hal itu sebagaimana pembolehanruqyah dari keumuman nash larangan, jika ruqyah itu tidak mengandung kesyirikan. Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Sesungguhnya mantera-mantera, jimat, dan tiwalah[11] adalah kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/381, Abu Daawud no. 3883, Ibnu Maajah no. 3530, Ibnu Hiibbaan no. 6090, dan yang lainnya dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu; shahih].
اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
Tunjukkan ruqyah kalian kepadaku. Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2200].
[12] Realitas ini sangat bertolak belakang dari para produsen dan konsumen jimat, dimana mereka memproduksi dan mempergunakan jimat setiap saat untuk menolak gangguan. Bahkan, kegunaan jimat mereka lebih dari itu, yaitu untuk ilmu kebal, pengasihan/pelet, pelaris dagangan, dan yang semisalnya.
[13] Sudah bid’ah dan syirik, fenomena jimat banyak dilakukan para pelaku kejahatan

Jumat, 22 November 2013

Nama-Nama Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam

Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ (6)
Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata. (QS. Ash-Shaff: 6).
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah Nabi dan Rasul terakhir, agama yang dibawa beliau adalah agama yang terakhir dan terbaik. Kitab suci Al-Qur`an yang diturunkan kepada beliau adalah kitab suci terakhir dan penyempurna bagi kitab-kitab suci sebelumnya. Bagi sebagian orang, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya mempunyai satu nama, namun pada kenyataannya beliau mempunyai banyak nama. Di antara sekian banyak nama Nabi MuhammadShallallahu Alaihi wa Sallam itu dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Minjaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj, atau lebih dikenal dengan Syarh Shahih Muslim, penjelasan kitab Shahih Muslim. Berikut adalah hadits-hadits tersebut:
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِزُهَيْرٍ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِيِّ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَحْمَدُ وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِي يُمْحَى بِيَ الْكُفْرُ وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى عَقِبِي وَأَنَا الْعَاقِبُ وَالْعَاقِبُ الَّذِي لَيْسَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ
Zuhair bin Harb, Ishaq bin Ibrahim, dan Ibnu Abi Umar telah memberitahukan kepadaku –dan lafazh ini milik Zuhair-, Ishaq mengatakan, “Sufyan bin Uyainah telah mengabarkan kepada kami”, sementara dua perawi yang lain mengatakan, “Sufyan bin Uyainah telah memberitahukan kepada kami, dari Az-Zuhri, dia telah mendengar Muhammad bin Jubair bin Muth’im memberitahukan hadits dari ayahnya (Jubair), bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah Al-Mahi (penghapus), yang karena aku dihapuskan kekufuran. Aku adalah Al-Hasyir (pengumpul), di mana seluruh manusia akan dikumpulkan sesudahku. Aku adalah Al-Aqib (nabi yang datang terakhir).” Dan Al-Aqib adalah nabi yang tidak akan ada lagi seorang nabi sesudahnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi).
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُوْل الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِي أَسْمَاءً أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَحْمَدُ وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِي يَمْحُو الله بِيَ الْكُفْرَ وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمَيَّ وَأَنَا الْعَاقِبُ الَّذِي لَيْسَ بَعْدَهُ أَحَدٌ وَقَدْ سَمَّاهُ الله رَءُوفًا رَحِيْمًا
Harmalah bin Yahya telah memberitahukan kepadaku, Ibnu Wahab telah mengabarkan kepada kami, Yunus telah mengabarkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahya (Jubair), bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama. Aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah Al-Mahi (penghapus), yang karena aku dihapuskan kekufuran. Aku adalah Al-Hasyir (pengumpul), di mana seluruh manusia akan dikumpulkan sesudahku. Aku adalah Al-Aqib (nabi yang datang terakhir) yang tidak akan ada lagi seorang nabi sesudahnya.” Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menamakan beliau dengan orang yang sangat penyantun dan sangat penyayang.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi).
وَحَدَّثَنِيْ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ ح وَحَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ح وَحَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ أَخْبَرَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ كُلُّهُمْ عَنِ الزُّهْرِيِّ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ وَفِي حَدِيْث شُعَيْبٍ وَمَعْمَرٍ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيْث عُقَيْلٍ قَالَ قُلْتُ لِلزُّهْرِيِّ وَمَا الْعَاقِبُ قَالَ الَّذِي لَيْسَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ وَفِي حَدِيْث مَعْمَرٍ وَعُقَيْلٍ الْكَفَرَةَ وَفِي حَدِيْث شُعَيْبٍ الْكُفْرَ
Dan Abdul Malik bin Syu’aib bin Al-Laits telah memberitahukan kepadaku, dia mengatakan, “Ayahku (Syu’aib) telah memberitahukan kepadaku, dari kakekku (Al-Laits), Uqail telah memberitahukan kepadaku. (H) Dan Abdu bin Humaid telah memberitahukan kepada kami, Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami, Ma’mar telah mengabarkan kepada kami. (H) Dan Abdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi telah memberitahukan kepada kami, Abu Al-Yaman telah mengabarkan kepada kami, Syu’aib telah mengabarkan kepada kami, mereka semua meriwayatkan dari Az-Zuhri, dengan sanad ini. Di dalam hadits riwayat Syu’aib dan Ma’mar disebutkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.“ Di dalam hadits riwayat Uqail disebutkan, “Aku pernah bertanya kepada Az-Zuhri, “Apa yang dimaksud dengan Al-Aqib?” Az-Zuhri menjawab, “Nabi yang tidak akan ada lagi seorang nabi sesudahnya.” Dan di dalam riwayat Ma’mar dan Uqail disebutkan, “Orang-orang kafir.” Sementara di dalam hadits riwayat Syu’aib disebutkan, “Kekufuran.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi).
وَحَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا جَرِيْرٌ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى اْلأَشْعَرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَمِّي لَنَا نَفْسَهُ أَسْمَاءً فَقَالَ أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَحْمَدُ وَالْمُقَفِّي وَالْحَاشِرُ وَنَبِيُّ التَّوْبَةِ وَنَبِيُّ الرَّحْمَةِ
Dan Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali telah memberitahukan kepada kami, Jarir telah mengabarkan kepada kami, dari Al-A’masy, dari Amru bin Murrah, dari Abu Ubaidah, dari Abu Musa Al-Asy’ari, dia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menyebutkan beberapa nama beliau kepada kami, beliau bersabda, “Aku adalah Muhammad, Ahmad, Al-Muqaffi (nabi yang datang terakhir), Al-Hasyir (pengumpul), Nabiyuttaubah (Nabi pembawa taubat), dan Nabiyyurahmah (Nabi pembawa kasih sayang).” (HR. Muslim)
Tafsir hadits
Dalam hadits-hadits yang terdapat pada bab ini disebutkan beberapa nama yang dimiliki NabiShallallahu Alaihi wa Sallam, dan beliau masih mempunyai banyak nama yang lain. Abu Bakar bin Al-Arabi bin Al-Maliki, di dalam kitabnya yang berjudul Al-Ahwadzi Fi Syarh At-Tirmidzi menyebutkan berdasarkan yang dia riwayatkan dari beberapa perawi, bahwasanya Allah Ta’ala memiliki seribu nama, dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga memiliki seribu nama. Di dalam kitab tersebut Abu Bakar menjelaskan sekitar enampuluhan nama secara terperinci.
Pakar bahasa arab menuturkan, “Dikatakan رَجُلٌ مُحَمَّدٌ (lelaki terpuji) dan رَجُلٌ مَحْمُوْدٌ (lelaki yang dipuji), jika seseorang mempunyai banyak sifat-sifat yang terpuji.” Ibnu Faris dan ulama lainnya mengatakan, “Oleh karena itulah Nabi kita Shallallahu Alaihi wa Sallam dinamai dengan Muhammad dan Ahmad. Allah Ta’ala mengilhamkan kepada keluarga beliau untuk menamai beliau dengan nama yang indah tersebut, karena mereka yakin bahwa bayi yang lahir dalam keluarga mereka itu mempunyai sifat-sifat yang terpuji.”
Perkataannya, وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِيْ يُمْحَى بِيَ الْكُفْرُ “Aku adalah Al-Mahi (penghapus), yang karena aku dihapuskan kekufuran.
Para ulama mengatakan, “Maksudnya adalah menghapus kekufuran dari kota Mekah, Madinah, semua negeri arab, dan semua penjuru bumi yang dibentangkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, di mana beliau telah dijanjikan bahwa daerah-daerah tersebut akan berada di bawah kekuasaan umat beliau. Ada kemungkinan, yang dimaksud adalah penghapusan yang bersifat umum, di mana agama Islam akan diberi keunggulan dengan kekuatan hujjah (dalil) dan mendapatkan kemenangan. Hal ini sebagaimana yang diterangkan di dalam firman Allah Ta’ala,
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ
“…untuk diunggulkan atas segala agama….” (QS. At-Taubah: 33, QS. Al-Fath: 28, QS. Ash-Shaff: 9).
Dalam hadits yang lain dijelaskan, bahwa maksud dari Al-Mahi (penghapus) adalah Nabi yang mana kesalahan orang-orang yang mengikuti ajarannya dihapus karena kemuliaan dirinya. Bisa juga diartikan dengan Nabi yang karenanya dihapuskan kekufuran. Dan hal ini selaras dengan firman Allah Ta’ala yang berbunyi,
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ (38)
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu…..” (QS. Al-Anfaal: 38).
Begitu pula dengan hadits shahih yang menyebutkan,
اْلإِسْلاَمُ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ
“Islam menghapuskan apa yang ada sebelumnya.”
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِيْ يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى عَقِبِي
Aku adalah Al-Hasyir (pengumpul), di mana seluruh manusia akan dikumpulkan sesudahku.
Dalam riwayat kedua disebutkan,
وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِيْ يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمَيَّ
Aku adalah Al-Hasyir (pengumpul), di mana seluruh manusia akan dikumpulkan sesudahku.
Adapun riwayat kedua, maka semua naskah mencantumkan hal yang sama, yaitu kalimat عَلَى قَدَمَيَّ yang secara bahasa artinya ketika aku berdiri di atas kakiku. Namun sebagian ulama ada yang membaca Ala Qadami (dalam bentuk tunggal), dan ada yang membaca Ala Qadamayya (dalam bentuk ganda). Sedangkan riwayat pertama, maka sebagian besar naskah mencantumkan kalimat عَلَى عَقِبِي (sesudahku). Sementara dalam sebagian naskah dicantumkan kalimat عَلَى قَدَمَيَّ (sesudahku), seperti riwayat yang kedua. Para ulama menuturkan, “Maksud kedua kalimat tersebut adalah bahwa manusia akan dikumpulkan setelahku, mereka semua termasuk ke dalam masa di mana kenabianku dan kerasulanku terus berlaku, dan tidak akan ada seorang pun nabi sesudahku.” Ada yang berpendapat, “Maksudnya kedua kalimat tersebut adalah bahwa manusia akan mengikuti ajaranku.”
Perkataannya, وَالْمُقَفِّي وَالْحَاشِرُ وَنَبِيُّ التَّوْبَةِ وَنَبِيُّ الرَّحْمَةِ “Al-Muqaffi (nabi yang datang terakhir), Al-Hasyir (pengumpul), Nabiyuttaubah (Nabi pembawa taubat), dan Nabiyyurahmah (Nabi pembawa kasih sayang).
Adapun kata الْعَاقِب maka maksudnya telah disebutkan dalam hadits di atas, di mana Al-Aqib artinya Nabi yang tidak akan ada lagi seorang nabi sesudahnya, dengan kata lain Nabi yang datang terakhir. Ibnu Al-A’rabi menuturkan, “Kata الْعَاقِب dan الْعُقُوْب artinya seseorang yang menggantikan kebaikan yang telah diperbuat oleh orang sebelumnya. Dalam kalimat bahasa arab disebutkan, عَقِبَ الرَّجُل لِوَلَدِهِ (lelaki itu menggantikan kebaikan untuk anaknya).”
Adapun kata الْمُقَفِّي “Al-Muqaffi” maka menurut Syamir artinya sama dengan Al-Aqib, yakni Nabi yang datang terakhir. Sementara Ibnu Al-A’rabi menuturkan, “Maksudnya Nabi yang mengikuti para Nabi sebelumnya.” Dalam kalimat bahasa arab dinyatakan, قَفَوْتُهُ, أَقْفُوْهُ, قَفَّيْتُهُ, أُقَفِّيْهِ artinya aku mengikutinya. Dikatakan, قَافِيَةُ كُلِّ شَيْءٍ artinya akhir dari segala sesuatu.
Dalam hadits di atas disebutkan beberapa kalimat seperti نَبِيُّ التَّوْبَة “Nabiyuttaubah”, نَبِيُّ الرَّحْمَةِ “Nabiyyurahmah”, dan نَبِيُّ الْمَرْحَمَة “Nabiyyulmarhamah”, arti dari semua kalimat ini hampir sama. Maksudnya adalah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam diutus sebagai Nabi yang membawa taubat dan membawa kasih sayang di antara manusia. Allah Ta’ala telah berfirman,
رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ (29)
“…berkasih sayang sesama mereka…” (QS. Al-Fath: 29).
Firman Allah Ta’ala,
وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ (17)
“……dan saling berpesan untuk berkasih saying. (QS. Al-Balad: 17)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dinamakan dengan نَبِيُّ الْمَلاَحِم “Nabi perang.” Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dinamakan demikian karena beliau diutus untuk berjihad dan berperang di jalan Allah Ta’ala dalam membela agama.
Para ulama mengatakan, “Di dalam semua hadits yang ada hanya diungkapkan beberapa nama yang sudah disebutkan ini saja, padahal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam masih mempunyai nama-nama lain yang masih banyak seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Hal itu karena nama-nama yang telah disebutkan ini juga tercantum di dalam kitab-kitab suci sebelum Al-Qur`an dan diketahui oleh umat-umat terdahulu sebelum agama Islam datang.” Wallahu A’lam.