“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An Nahl: 36)
Maka, manusia yang mampu menerjemahkan tiga misi tersebut ke dalam bahasa lisan, tindakan dan sikap adalah manusia yang beriman kepada Allah SWT. Manusia yang senantiasa merespon seruan dan khithab rabbani dengan hanya mengucapkan kalimat ini; “sami’naa wa atho’naa”. Inilah syi’ar kehidupan manusia qur’ani dan rabbani. Hamba-hamba Allah yang akan dijanjikan kepada mereka “istikhlaf” di bumi-Nya. Allah berfirman;
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (An Nur: 55)
Berdasarkan ayat di atas bisa kita konklusikan bahwa umat Islamlah yang diberi beban amanah Ilahiyah dan yang sanggup mengimplementasikannya ke dalam seluruh dimensi kehidupan. Maka umat Islamlah yang seharusnya memimpin dunia, yang berkewajiban mengajarkan manusia tentang system ilahiah dan membimbingnya untuk melakukan islamisasi dalam kehidupannya secara totalitas sehingga mereka benar-benar bisa keluar dari kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam. Renungkan apa yang telah dikatakan seorang jundi, Rib’i bin Amir kepada Rustum, panglima Persia dalam perang Qadisiyah, ketika ia bertanya:“Gerangan apa yang membuat Anda datang ke negeri kami?”, lalu ia menjawab dengan kalimat ini;
“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia yang dikehendaki-Nya dari penghambaan hamba menuju pengabdian kepada Allah semata, dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat dan dari kezhaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”
Oleh karenanya, tugas ini bukanlah tugas yang ringan dan juz-iyah (parsial) atau sampingan tanpa dibarengi dengan usaha-usaha maksimal. Akan tetapi tugas atau dakwah ini merupakan urusan yang besar nan agung, urusan yang berkaitan dengan pembentukan syakshiah islamiyah, kelestarian system-sistem Ilahiyah dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Sayyid Quthb mengatakan, “Barangsiapa menganggap ringan kewajiban (dakwah) ini, padahal ia merupakan kewajiban yang dapat mematahkan tulang punggung dan membuat orang gemetar, maka ia tidak bisa melaksanakan secara kontinyu kecuali atas pertolongan Allah. Ia tidak akan bisa memikul dakwah kecuali atas bantuan Allah SWT dan tidak akan bisa teguh di atasnya kecuali dengan keikhlasan pada-Nya. Orang yang berada di jalan ini siangnya berpuasa, malamnya qiyam (shalat) dan ucapannya penuh dengan dzikir. Sungguh hidup dan matinya hanya untuk Allah Rabbal Alamin, yang tiada sekutu bagi-Nya.” (Tafsir Fii Zhilaalil Qur’an, Sayyid Quthb)
Dan untuk mensukseskan amanat yang agung ini perlu dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki iman yang kuat, keikhlasan, hamasah yang membara dan tadhhiyat serta amal yang mustamir (kontinyu). Sehingga nilai-nilai kebenaran Islam yang termuat dalam gerbong dakwah benar-benar terealisir dan bisa dirasakan oleh semua manusia. Al Imam asy Syahid Hasan al Banna dalam “Risalat Ilaa Asy Syabab” berkata, “Sungguh fikrah ini bisa sukses apabila ada iman yang kuat, keikhlasan yang penuh di jalannya, hamasah yang membara dan adanya persiapan yang melahirkan tadhhiat dan amal untuk merealisasikannya. Dan hampir-hampir empat pilar ini (iman, ikhlas, hamasah dan amal) merupakan karakteristik bagi para pemuda. Karena dasar keimanan adalah hati yang cerdas, dasar keikhlasan adalah nurani yang suci, dasar hamasah adalah syu’ur yang kuat dan dasar amal adalah ‘azm yang menggelora.”
Urgensi Berdakwah
Berdakwah yang bertujuan dan berorientasi kepada perbaikan individu muslim, pembentukan keluarga muslim, pembinaan masyarakat Islam, pembebasan tanah air dari hegemoni asing, perbaikan pemerintah agar menjadi pemerintahan Islam yang senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat dan menjadi “ustadziatul ‘alaam” (soko guru dunia) merupakan risalah para Nabi dan Rasul. Di mana setiap Nabi berkewajiban mendakwahkan apa-apa yang telah diterima sebagai wahyu dari Allah kepada umatnya. Ia harus menyampaikan risalah Ilahiyah ini dengan penuh amanah, kejujuran, kecerdasan dan kesabaran di tengah masyarakatnya. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An Nahl: 36)
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (Al Ahzab: 45-46)
Berdakwah juga merupakan kewajiban syar’i yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam berdasarkan beberapa dalil berikut ini:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran: 104)
Ayat ini secara jelas menunjukkan wajibnya berdakwah, karena ada “lam amr” di kalimat “wal takun”. Begitu juga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat.” Hadits ini secara eksplisit mengisyaratkan bahwa setiap muslim harus menyampaikan apa-apa yang telah di bawa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada seluruh manusia, walaupun hanya satu ayat ataupun satu hadits.
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (Al Maidah: 63)
Ibnu Jarir Ath Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata, “Tidak ada di dalam Al Quran suatu ayat yang lebih keras mengolok-olok daripada ayat ini.” (Tafsir Ibnu Jarir). Sedangkan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Ali bin Abi Thalib pernah berkhotbah, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, ia berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum kamu itu hancur disebabkan mereka berbuat maksiat sedangkan orang-orang alim dan para pendeta mereka tidak melarangnya sampai akhirnya ditimpa siksa di saat mereka terus menerus asyik dalam kemaksiatannya. Oleh karena itu, perintahkanlah mereka untuk berbuat makruf dan cegahlah mereka dari kemungkaran sebelum turun kepada adzab seperti yang turun kepada mereka. Ketahuilah bahwasanya amar makruf dan nahi mungkar itu tidak akan memutuskan rezki dan tidak pula mendekatkan ajal.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/74)
Berkaitan dengan masalah ini, Allah juga menggambarkan fenomena masyarakat mukmin yang selalu melakukan taawun dan amar ma’ruf nahi munkar di antara mereka. Allah berfirman;
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At Taubah: 71)
Sebagaimana dakwah itu merupakan kewajiban syar’i, ia juga merupakan kebutuhan masyarakat. Karena dengan dakwah, masyarakat mampu memahami nilai-nilai kebenaran Islam, mampu membedakan antara yang hak dan yang batil dan akhirnya mereka bisa mengaplikasikan ajaran Islam ini lewat sentuhan lembut tangan para dai yang bijak, para penunjuk jalan yang tegar dan para muballigh yang sabar. Dakwah merupakan muara segala kebaikan, benteng penangkal siksa dan escalator yang menghantarkan doa para hamba. Mi’raj kepada Rabbnya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Demi Dzat yang mana jiwaku ada pada Tangan-Nya, sungguh kamu harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar atau Allah akan menimpakan kepada kamu adzab, kemudian kamu berdoa maka doa itu tidak akan dikabulkan.” (H.R. Tirmidzi, hadits hasan)
Jadi, jelaslah bahwasanya setiap muslim yang sadar dengan identitasnya, ia harus berpartisipasi dalam mengemban amanah dakwah ini. Apalagi kita sebagai pemuda atau orang tua yang berjiwa muda, ia harus dinamis membangun jaringan dakwah dan pro aktif untuk ikut memperbaiki masyarakatnya. Imam Syafi’i dalam antologi puisinya berkata:
“Siapa yang tidak mau ta’lim (dakwah/membina) pada masa mudanya, maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena ia telah (mati sebelum ia mati).”
Begitu juga Imam Asy Syahid Hasan Al Banna menginginkan manusia-manusia yang kuat dari kalangan pemuda atau orang tua yang berjiwa muda saja dalam mengemban amanah dakwah yang berat ini. Maka dalam risalah “Dakwatunaa Fii Thaurin Jadid” beliau berkata:
“Kami menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan tegar. Hati-hati yang baru nan berkibar-kibar. Emosi-emosi yang membara nan menggelora dan ruh-ruh yang memiliki thumuhat, obsesi ke depan jauh yang merenungkan teladan dan tujuan-tujuan yang mulia.”
Maka Setiap ucapan, gerak dan tindakan seorang akh yang telah bergabung dalam dakwah ini harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai Islam dan harus mampu menjadi pesona Islam di tengah-tengah masyarakatnya. Wallahu a’lam bish Shawab.
Hasanalbanna.com | Irwan Prayitno
Sumber: fimadani.com
0 komentar:
Posting Komentar