Di indah ukhuwah, menguntai banyak cerita. Atas nama persaudaraan yang mengikat dari gemuruh keimanan itu, ada kelembutan yang tak menyirnakan ketegasan. Maka, kutegur engkau jika kau salah, kuingatkan engkau jika kau lalai. Dan sebaliknya, demikian juga engkau padaku.
Lalu, kenapa tak suka, jika kini ada yang kubabat habis argumentasi lemahmu, dengan etika-etika kemuslimahan yang ditopang oleh syariatNya? Shahih dan tak terbantahkan.
Sudah kita tapaki setingkat demi setingkat langkah-langkah ukhuwah ini, bersama. Masih ingatkah? Saat pertama kali kita bertemu, saling berpandangan, kemudian saling melempar senyum, diikuti saling menyapa, dan akhirnya saling memperkenalkan diri.
Waktu berlalu, kedekatan kita mulai terbangun, tak hanya berhenti hanya sampai pada ta’aruf fisik, tapi berlanjut ke ta’aruf pemikiran, ide-ide, dan cita-cita bahkan ta’aruf tentang permasalah hidup masing-masing. Yang kemudian dari situ, kita mulai saling memahami; memahami kelebihan dan kekurangan, kelemahan dan kekuatan masing-masing. Tanpa disadari, masa kebersamaan kita begitu cepat bergeser dari kata ta’aruf menempati kata tafahum. Dan Kemudian, pernah kita alami ketika masa dimana engkau mendahulukan kepentinganku, dan di kesempatan yang lain, aku mendahulukan kepentinganmu. Diam-diam, hatiku menyadari, bahwa kaki kita sedang melewati tapak-tapak ta’awun. Pun mungkin demikian engkau, juga turut serta menyadarinya.
Namun, ketika usia terus menanjak, dan tak juga takdir itu datang menyapamu mesra, membawa seorang imam yang sudah siap kau taati. Kukira engkau baik-baik saja, meski kutahu resahmu semakin memuncak. Kukira engkau tetap teguh, meski kutahu desakan demi desakan untuk menyegerakan sesakkan dadamu. Kuyakini, engkau akan sabar dan ikhlas menerima, karena takdir ini tak hanya berlaku untukmu. Itu artinya engkau tak seorang diri dan tak satu-satunya yang menjalani.
Kukira dan kuyakini begitu, karena engkau adalah seorang muslimah. Namun, ternyata perkiraanku meleset, keyakinanku runtuh. Belakangan, ada yang berbeda dari dirimu. Jilbabmu berkibar tak selebar biasanya. Style-mu mulai ke-ABG-ABG-an. Pakaian muslimahmu yang selama ini terfungsikan sebagai pakaian takwa, kini mulai berubah fungsi menjadi bermakna fashion. Engkaupun sudah berani memajang fotomu di jejaring sosial dunia maya bernama Facebook dengan pose-pose menarik perhatian. Sedang engkau tahu, bahwa friend list Facebook-mu tak hanya wanita, tapi juga lelaki. Engkau tahu benar, bahwa hal itu sangat bisa memotensikan dan memeluangkan adanya fitnah. Engkau, berubah! Membuatku lesatkan pertanyaan, adakah hal ini berhubungan dengan takdir yang tak juga datang menyapa itu?
Jika ya, jelas yang sedang kau lakukan salah. Dan ini sedang tidak menyalahkanmu. Tapi menunjukkan yang sudah engkau tahu. Ya, aku tahu, engkau tahu. Kita sudah sama-sama mengetahuinya. Bahwa ada batasan-batasan yang telah dilanggar dalam kaidah-kaidah kemuslimahan.
Ukhti, aku memahami kekhawatiranmu, aku memahami tekanan batinmu. Sangat memahami. Dan maafkan, karena aku tak bisa berbuat banyak untuk hal ini. Maafkan atas kelemahan dan segala ketidakberdayaanku, sehingga mungkin sangat sulit bagi kita bertengger menempati puncak ukhuwah; menempati kata takaful. Namun, bisakah kau sambut uluran tanganku? Kuajak kau pahami juga tentang takdirNya yang tak mungkin salah. Tak sekali-kalipun Ia akan salah menakdirkan. Pasti ada taburan hikmah yang bisa dilihat, dari sudut pandang-sudut pandang keimanan.
Jangan memandang dengan tatapan seolah aku, dia, dan mereka adalah pengganggu, karena kami menunaikan kewajiban untuk mengingatkan. Jangan antipati pada retorika kebenaran, karena darinya bermula gerakan-gerakan amal nyata.
Engkau adalah muslimah, mestinya engkau lebih mudah diingatkan. Engkau adalah kader dakwah, harusnya engkau lebih mudah diajak berkomunikasi. Engkau adalah aktifis dakwah, layaknya semua gerakmu adalah atas nama dakwah.
Sungguh ingin kukatakan, bahwa melihatmu yang sekarang ini, menghadapimu yang sekarang ini, memunculkan banyak alasan untuk kecewa dan marah. Namun tahukah? Segera kucukupkan hanya dengan satu alasan untuk memaafkan, bahwa aku menyayangimu karena Allah. Ya, menyayangimu karena Allah, namun tidak untuk memakluminya. Sebab engkau adalah seorang muslimah. Muslimah, yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang membersihkan hati dan mana yang mengotori hati, mana yang disukaiNya dan mana yang dibenciNya.
______________________________________________________________
Catatan
1. Ta’aruf; saling mengenal,
2. Tafahum; saling memahami,
3. Ta’awun; saling menolong,
4.Takaful; saling memberi jaminan (yang menimbulkan rasa aman dalam hidup).
Merupakan 4 tingkatan dalam menjalin ukhuwah Islamiyah (pilar-pilar ukhuwah).
Oleh: Rifatul Farida, Jakarta
Blog
Blog
0 komentar:
Posting Komentar